Prawoto Mangkusasmito, Pejuang yang Sederhana

“Ia mencintai dan dicintai oleh kaum dhuafa. Rumahnya tiada henti menerima tamu. Ia pribadi yang besar, dengan tubuh yang ramping kecil.”- Mohammad Natsir

Prawoto Mangkusasmito adalah sosok yang dibesarkan di lingkungan Muhammadiyah. Saat ikut terlibat mendirikan Partai Masjumi, bersama Ki Bagus Hadikusumo, mereka berdua adalah wakil dari Muhammadiyah. Prawoto dilahirkan di Magelang, 4 Januari 1910. Ia berasal dari keluarga sederhana. Bahkan sejak kecil, Prawoto sudah hidup mandiri, mencari uang dan membiayai sekolahnya sendiri. Ayahnya hanyalah seorang mantri candu, yang bertugas mengawasi praktik penjualan candu yang marak pada masa itu.
Prawoto pernah menempuh pendidikan di Hollands Inlandsche School (HIS). Setamat dari HIS, ia kemudian melajutkan ke Meer Uitgerbreid Lager Onderwijs (MULO) dan selesai pada 1928. Di MULO inilah ia banyak berkenalan dengan beberapa orang, diantara Jusuf Wibisono, yang kelak duduk bersama dalam jajaran kepengurusan di Partai Masjumi. Dari MULO, menempuh pendidikan di Algemene Midddelbare School (AMS)-B Jogjakarta dan tamat pada tahun 1931. Setelah itu, Prawoto yang menamatkan pendidikan di Recht Hoge School (Sekolah Tinggi Hukum) pada tahun 1935. Setamat dari RHS, Prawoto aktif menjadi guru di sekolah Muhammadiyah sampai tahun 1942, ketika Jepang datang ke Indonesia.
Setelah itu, Prawoto aktif sebagai anggota Badan Pekerja (BP) Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) dari tahun 1946 sampai 1949. Kemudian duduk sebagai ketua badan tersebut pada masa Republik Indonesia Serikat (RIS) dari tahun 1949-1950. Jabatan lainnya dalam pemerintahan terus didapat oleh Prawoto, termasuk menjadi wakil ketua pelaksana pemilu tahun 1955, pada masa Kabinet Burhanuddin Haraharap, wakil perdana menteri, dan wakil ketua I Majelis Konstituante.
Bersama tokoh-tokoh pemuda lainnya pada masa lalu, Prawoto adalah kader pergerakan yang dilahirkan dari Jong Islamietend Bond (JIB). Bersama Kasman Singodimedjo yang juga orang Muhammadiyah, Prawoto pernah menjadi pengurus JIB, sebuah organisasi perhimpunan pelajar Islam yang memiliki semangat dan cita-cita memajukan Islam. Meski bukan berlatarbelakang pendidikan Islam (pesantren), namun Prawoto selalu menjadikan Al-Qur’an sebagai rujukan dalam pemikiran-pemikirannya. Prawoto adalah unsur dari Muhammadiyah yang terlibat dalam mendirikan Partai Masjumi pada kongres umat Islam di Jogjakarta pada 1945. Selain di JIB dan Muhammadiyah, Prawoto juga aktif dalam kelompok diskusi Studenten Islam Studi (SIS) Club.

wilis copy
Prawoto (ketiga dari kiri), saat di penjara

Prawoto adalah sosok yang hidup dalam kesederhanaan. Penampilannya khas dengan kopiah hitam dan jenggot yang memanjang. Prawoto merumuskan hidup sederhana, sebagaimana ditulis dalam buku Alam fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito yang disusun oleh S.U Bajasut, dengan “tahu batas-batas arti minimal, dan tahu pula batas-batas arti maksimal.” Artinya, seorang pejuang, dai, dan pemimpin umat tak harus menjadi orang miskin sekali, tapi tak juga perlu pada hidup yang bergelimang kemewahan dunia.
Dalam harian Pos Indonesia, Agustus 1970, seorang bernama Tang Eng Kie, menggambarkan kesederhanaan hidup sosok Prawoto dengan menulis, “Ia bukan politikus yang menggunakan politik untuk mencari duit. Ia berjuang untuk negara dan rakyat Indonesia, dan ini kelihatan sekali dari penghidupannya. Ia hidup sangat sederhana dan yang mencari uang untuk hidup sehari-hari adalah ibu Prawoto sendiri. Kesempatan untuk menjadi komisaris perusahaan banyak sekali jika ia mau, apalagi ia pernah menjadi wakil perdana menteri dan bekas pimpinan umum Partai Masyumi.
Sahabat karib Prawoto, Mohammad Natsir, menggambarkan sosok kawannya itu sebagai seorang yang menjadikan orang-orang lemah sebagai basis kekuatan. “Ia mencintai dan dicintai oleh kaum dhuafa. Rumahnya tiada henti menerima tamu. Ia pribadi yang besar dengan tubuh yang ramping kecil,”demikian ucap Natsir. Kemudian Natsir juga menceritakan apa yang pernah disampaikan oleh Prawoto kepadanya, “Apabila saya kembali dari tourni (kunjungan ke daerah, pen) melihat kampung-kampung dan desa-desa, berbitjara dengan pak tani yang lemah itu, jang tidak pandai membatja surat-surat kabar, dan jang tak pernah disebut-sebut namanja dalam surat-surat kabar, saja mendapat kekuatan baru. Saja melihat keadaan mereka, saja membitjarakan dengan mereka persoalan-persoalan hidup jang langsung mereka hadapi, saja kembali dengan harapan jang baru.”
Apa yang diucapkan Prawoto bukan sekadar omongan. Hal ini terbukti, pria sederhana yang seringkali disebut radikal oleh lawan-lawan politiknya itu meninggal dunia saat melakukan kunjungan dakwah ke sebuah desa di pedalaman Banyuwangi, Jawa Timur, pada tahun 1970. “Seorang mujahid telah pergi dan tak kembali,” demikian ucap Mohammad Natsir saat memberikan sambutan atas wafatnya tokoh pejuang itu.
Natsir juga menceritakan sepak terjang Prawoto sebelum akhirnya wafat di medan dakwah, “Sebagaimana biasa, seolah-olah secara routine dia meninggalkan anak istrinya. Meninggalkan rumah yang tak pernah reda menerima tamu2. Ia berjalan sendirian menemui umat di desa- desa di Djawa Timur, kaum dhuafa jang mentjintai dan ditjintainja dengan sepenuh hatinja. Dalam perdjalanan itu dia direnggutkan, dari lingkungan keluarga. Disentakkan dari tubuh ummat jang sepandjang masa merasa satu dengan pribadinja dalam suka dan dalam duka…pribadi jang besar dalam tubuh jang ketjil ramping. Ia telah pergi meninggalkan kita, tetapi ia menemui chaliknja jang ditjintainja.”
Selain kawan seperjuangan, tokoh-tokoh yang menjadi rival politiknya pun merasa kehilangan dengan kepergiannya. I.J Kasimo, tokoh yang berseberangan secara politik dengan Prawoto memberi sambutan dengan mengatakan,”Pengurbanan dan kepemimpinannja selama hidupnja tidak sia-sia. Kedjudjuran, kesederhanaan hidup, tawakal dan kegigihannja dalam mempertahankan prinsip-prinsip benar telah mendjiwai perdjuangan kemerdekaan kita. Kita kehilangan pemimpin jang berwatak.”
Sebagai pejuang, Praowoto juga pernah merasakan kehidupan di balik jeruji besi. Ia pernah dipenjara pada masa rezim Soekarno bersama-sama tokoh Partai Masjumi lainnya seperti Mohammad Roem, M. Yunan Nasution, Sjafrudin Prawiranegara, Mohammad Natsir, KH. Isa Anshar, E.Z Muttaqin, dan lain-lain. Prawoto yang dipenjara pada 16 Januari 1962 baru dibebaskan pada 17 Mei 1966. Lebih dari 4 tahun, ia dan para pejuang Partai Masjumi lainnya hidup dalam keterbatasan di jeruji besi.

“Pengurbanan dan kepemimpinannja selama hidupnja tidak sia-sia. Kedjudjuran, kesederhanaan hidup, tawakal dan kegigihannja dalam mempertahankan prinsip-prinsip benar telah mendjiwai perdjuangan kemerdekaan kita. Kita kehilangan pemimpin jang berwatak.”
I.J Kasimo (Tokoh Katholik), mengenang Prawoto

Prawoto menjadi nakhoda terakhir Partai Masjumi, setelah kongres IX partai tersebut yang berlangsung di Jogjakarta pada 1959 memilihnya sebagai pimpinan umum. Pada masanya, Partai Masjumi mengalami terjangan badai yang luar biasa, dimana pihak yang berkuasa berusaha untuk melakukan tindakan diktator membubarkan partai-partai yang ada. Tak mengherankan, saat Partai Masjumi harus bubar pada 1960, Prawoto-lah orang yang berjuang keras menggugat keputusan pemerintah tersebut. “Ini tidaklah berarti bahwa terlepaslah pula kita dari kewadjiban seorang muslim untuk setjara berorganisasi atau sendiri-sendiri berdjuang terus menudju cita-cita kita…” demikian pidato Prawoto Mangkusasmito saat memberikan amanat terakhir pimpinan Pusat Partai Masjumi, setelah akhirnya partai tersebut bubar. (Artawijaya)

Sumber:

  • Artawijaya, Belajar dari Partai Masjumi, Jakarta:Pustaka Al-Kautsar 2014
  • S.U Bajasut, Alam Fikiran dan Djedjak Perdjuangan Prawoto Mangkusasmito, Surabaya: Documenta, 1972

Tinggalkan komentar