Hidup Sederhana dan Bersahaja

Kebergantunganya pada akhirat, membuatnya terlepas dari segala beban keduniaan yang mengganjalnya dalam memimpin kaum muslimin.

Bukan karena ia tak mampu mengumpulkan pundi-pundi harta dan membeli barang-barang yang mewah. Sebagai khalifah yang agung, ia bisa saja melakukan itu semua. Namun, ketakutannya kepada Allah membuatnya berhati-hati dengan segala harta benda yang dimilikinya. Ia memilih hidup sederhana dan bersahaja, menumpuh jalan zuhud (memanfaatkan dunia sekadarnya) dan wara‘ (menahan diri dari hal-hal yang syubhat dan haram). Dialah Umar bin Abdul Aziz, khalifah dari Bani Umayyah yang namanya bersinar dalam bentangan sejarah kaum muslimin.

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Abdul Aziz terlambat datang shalat Jumat. Orang-orang yang hadir menunjukkan raut wajah tak suka. Seorang bertanya kepadanya, “Kenapa paduka Tuan terlambat datang?” Umar menjawab, “Aku terlambat karena menunggu gamisku (yang baru dicuci) kering.” Orang-orang yang mengetahui hal itu lantas terharu. Seorang khalifah dengan segala kekuasaannya, bisa saja menggunakan dana dari Baitul Maal, atau dana taktis seperti pada masa sekarang, untuk membeli segala atribut untuk penampilannya.Tetapi itu tidak dilakukannya.”Aku takut terhadap perhitungan yang berat dan pertanggungjawaban yang besar (di akhirat),”ujarnya.

Karena kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, ada yang menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah kelima setelah empat khulafaurrasyidun (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhum).”Orang yang paling zuhud adalah Umar bin Abdul Aziz, dimana dunia datang kepadanya, namun ia justru pergi meninggalkannya,” demikian kata Malik bin Dinar dalam Hilyatul Auliyaa’.

Kebergantunganya pada akhirat, membuatnya terlepas dari segala beban keduniaan yang mengganjalnya dalam memimpin kaum muslimin. Ia tidak memiliki rasa takut untuk menegakkan hukum kepada siapapun yang melakukan kezaliman. Ia tak pernah pandang bulu dan pilih tebang dalam menegakkan kebenaran. Ia tak memiliki track record yang buruk, yang bisa dijadikan sasaran tembak musuh-musuhnya.

Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana para pemimpin, aparat penegak hukum, dan tokoh-tokoh politik saling menyandera.Pemimpin tak berani menegakkan hukum dengan adil, karena ia tersandera secara politik, yang disebabkan catatan buruk atau ‘kartu truf’ yang dipegang oleh lawan-lawan politiknya. Pemimpin yang hidup sederhana, ia tak akan pernah tersandera oleh kepentingan-kepentingan dunia. Ia akan berdiri tegak mendongakkan kepala melawan segala bentuk kemungkaran.

Haji Agus Salim, seorang tokoh bangsa ini adalah contoh lain dari potret kesederhanaan seorang pejabat negara. Ia seorang menteri dan diplomat ulung yang cukup disegani di dunia internasional. Sumbangsihnya untuk negeri ini tak terbilang jumlahnya. Penampilannya sederhana; Jas lusuh, kopiah, dan kain sarung. Namun itu semua tak mengurangi akalnya yang brilian dan keberaniannya dalam berdiplomasi.

Leiden is lijden! Memimpin itu menderita. Jalan kepemimpinan adalah jalan pengabdian, jalan penderitaan, bukan jalan bersenang-senang untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Itulah gambaran Kasman Singodimedjo terhadap sosok Haji Agus Salim, ketika ia mengunjungi rumahnya yang berada di gang sempit dan becek. Potret itu juga yang dilihat oleh para kolega Salim ketika mereka mengetahui bahwa sang diplomat ulung itu tidak mampu membeli kain kafan yang bagus ketika anaknya meninggal dunia. Sebagai pejabat negara, tokoh yang menjadi mentor para pendiri bangsa itu bahkan harus hidup mengontrak berpindah-pindah rumah.

Keteladanan juga tercermin dari kesederhanaan hidup Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Ia hidup mandiri, makan dan membiayai hidupnya dari apa yang diusahakannya, tanpa bergantung pada orang lain. Diceritakan, selain mengajar para santrinya, KH Hasyim Asy’ari juga berladang di sawah dan pergi menjajakan barang dagangannya berniaga ke Surabaya.

Padahal, sebagai seorang alim dengan murid yang sangat banyak, bisa saja ia hidup mengandalkan pemberiaan para santrinya. Namun itu tidak ia lakukan, semata-mata ingin mengamalkan apa yang dipesankan oleh baginda Rasulullah SAW, bahwa sebaik-baik pekerjaan, adalah usaha dengan tangannya sendiri. Membiayai hidup dengan hasil keringat sendiri, ketimbang harus mengharapkan belas kasih orang lain, atau memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Baginya, rejeki yang ada harus disyukuri dengan hidup yang sederhana, karena segala harta benda yang kita miliki itu fana.

Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa ada empat perkara yang Allah akan hisab di akhirat kelak, dimana tidak akan beranjak kaki seorang hamba sebelum ditanya tentang hal tersebut, diantaranya adalah, “tentang hartanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan.” (HR At-Timidzi)

~Artawijaya~

*Dimuat di Harian Duta Masyarakat, Jawa Timur

Mempersiapkan Kader Kepemimpinan

Pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan. Orang-orang yang mengukir sejarah itu tidak lahir tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang pengkaderan dan perjuangan.

Namanya Muhammad. Dalam sejarah Turki dan literatur Barat sering disebut Mehmet II. Dan kelak, saat ia menjadi sultan Ottoman (Utsmani) dan berhasil menaklukkan Konstantinopel sebagai basis kekuatan Kristen Byzantium pada 857 H atau 1453 M, ia dijuluki sebagai Muhammad Al-Fatih (Muhammad Sang Penakluk).

Sultan Muhammad Al-Fatih yang lahir pada tahun 1432 M di Edirne, Turki, bukanlah sosok karbitan.Ia lahir dan tumbuh dalam proses pengkaderan. Ayahnya, Sultan Murad II, orang yang sangat peduli terhadap masa depan anaknya. Ia memiliki visi dalam mendidik, menyiapkan sang buah hati kelak bisa menjadi sosok pejuang yang tangguh. Sang ayah memiliki harapan agar kelak sang anak mampu menaklukkan kekuasaan super power Byzantium, sebagai upaya mengangkat harkat dan martabat kaum muslimin.

Pengkaderan itu dimulai dari lingkungan terdekat; dari tempat dimana orang berinteraksi secara intens sehari-hari. Lingkungan itu adalah keluarga, tempat dimana kedekatan psikologis saling tumbuh mempengaruhi dalam jarak yang sangat dekat. Sultan Murad II menyadari hal itu. Ia yang memiliki cita-cita agar anak keturunannya kelak bisa menaklukkan Konstantinopel, kemudian seringkali mengajak Muhammad kecil untuk melihat kota itu dari tepian Selat Boshporus, memandangnya lekat-lekat, sambil kemudian dikatakan kepadanya, “Nak, kelak kau akan menaklukkan kota itu, menjadi sang penakluk sebagaimana yang dijanjikan Nabimu.”

masjid-al-fatih

Masjid Sultan Muhammad Al-Fatih di Turki

Motivasi lewat verbal dan visual terus dilakukan oleh Sultan Murad II kepada sang anak. Ia berharap Muhammad yang nanti tumbuh dewasa, menjadi sosok yang menjawab nubuwwat Rasululullah SAW, sebagaimana dinyatakan dalam sabdanya, “Kelak kota Konstantinopel akan jatuh ke tangan kaum muslimin. Pemimpin yang menaklukkannya adalah sebaik-baik pemimpin dan pasukan yang berada di bawah komandonya adalah sebaik-baik pasukan.” (H.R Ahmad dalam Al-Musnad, 4/335).

Sebelumnya, banyak para pejuang Islam yang berusaha dan berharap agar menjadi sosok yang dinubuwatkan oleh Rasulullah SAW tersebut.Berbagai upaya penaklukkan dilakukan. Termasuk yang dilakukan oleh sahabat Rasulullah yang mulia, Abu Ayyub Al-Anshari RA. Namun semuanya belum membuahkan hasil. Barulah ratusan tahun kemudian, nubuwwat Rasulullah SAW terjawab dengan keberhasilan Sultan Muhammad Al-Fatih dalam menaklukkan Konstantinopel.

Selain oleh orangtua, pengkaderan juga dilakukan dengan menghadirkan seorang guru terbaik. Sultan Murad II mempercayakan pendidikan anaknya pada Syaikh Aaq Syamsuddin, seorang alim yang kelak juga sangat berjasa bagi Sultan Muhammad Al-Fatih. Kepadanya, Al-Fatih belajar menghafal Al-Qur’an, bahasa Arab, ilmu fikih, akidah, dan sebagainya. Sehingga dalam usia belia, Al-Fatih tak hanya menjadi pemuda yang tangguh, tetapi juga alim.

Pelajaran yang bisa dipetik dari kisah Sultan Muhammad Al-Fatih adalah soal pengkaderan, lingkup pengkaderan, dan tahapan pengkaderan. Semuanya tak berjalan secara instan. Pemimpin itu dibentuk, bukan dilahirkan. Orang-orang yang mengukir sejarah itu tidak lahir tiba-tiba, tetapi melalui proses panjang pengkaderan dan perjuangan. Pengkaderan terhadap Al-Fatih dimulai dari lingkup terdekat; orangtua atau keluarga, lalu oleh guru sebagai orang luar, kemudian oleh masyarakat sebagai lingkup yang lebih luas.

Sultan Muhammad Al-Fatih adalah sosok yang dipersiapkan. Ruhiyahnya dibina sejak kecil. Kepribadiannya dibentuk sejak belia. Ketangguhannya dalam bertempur dilatih sejak kanak-kanak. Ia menghafal Al-Qur’an, taat pada orangtua dan guru, dan disiplin dalam berlatih. Keahliannya dalam memanah dan berkuda dilahirkan dari latihan yang kontinyu. Pengkaderan yang dilakukan ayahnya terhadap Sultan Muhammad Al-Fatih adalah cermin bagi keteladanan dalam melahirkan sosok pemimpin dan pejuang.

Dalam perjalanan sejarah bangsa ini kita mengenal sosok-sosok yang alim, pejuang, dan pengukir sejarah. Kita ambil contoh dua sosok besar; KH. Hasyim Asy’ari dan KH.Ahmad Dahlan. Mereka lahir dari orangtua yang baik, lingkungan yang baik, dikader oleh keluarga dengan cara terbaik, dididik dengan guru-guru yang alim dan mumpuni, kemudian hidup di lingkungan yang penuh dengan kebaikan. Mereka bukan tokoh karbitan, bukan pula ulama yang lahir secara instan.

Bagaimana kondisi sekarang? Saat ini umat seolah kehilangan sosok kader dalam perjuangan. Kader yang dimaksud di sini adalah mereka yang lahir dan tumbuh berkembang dari keluarga besar dan rahim umat Islam. Kader yang hidup dan digembleng dalam jamaah kaum muslimin,  yang bercita-cita untuk memperjuangkan tegaknya aspirasi umat, dan konsisten (istiqamah) akan perjuangannya. Kader yang kokoh imannya, kuat fisiknya, dan cemerlang pemikirannya.

Dalam proses pemilihan kepala daerah misalnya, umat Islam seolah tak memiliki kader untuk diajukan sebagai pemimpin. Atau seolah minder untuk memajukan calon pemimpin yang diusungnya. Padahal, berapa banyak pesantren yang telah melahirkan kader-kader terbaiknya,berapa banyak partai-partai Islam yang mempunyai sosok-sosok yang lahir dari proses kaderisasi, berapa banyak para aktivis ormas Islam yang seharusnya bisa tampil memegang tampuk kepemimpinan lokal dan nasional?

Namun semua itu tertutup oleh kabut pekat yang bernama “kepentingan politik dan uang”.Lalu muncullah ke permukaan, mereka yang tidak pernah dikader, dididik, dan hidup dalam jamaah kaum muslimin. Mereka yang selama ini muncul dari hasil transaksi politik, jual beli kepentingan, dan hawa nafsu kekuasaan. Mereka yang hidupnya tersandera oleh kekotoran pribadinya sendiri, sehingga tak leluasa untuk menegakkan kepemimpin yang bersih.

Al-Qur’an telah mengingatkan kita semua untuk melahirkan kader-kader yang kuat dan tangguh. Kader yang kelak akan menjadi pelanjut bagi estafet perjuangan dakwah kaum muslimin. “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (An-Nisaa:9)

~Artawijaya~

*Dimuat di Harian Duta Masyarakat, Jawa Timur, 30 September 2016

Ulama Menurut Buya Hamka dan Natsir

Ulama adalah figur yang mengakar ke bawah, mengakar pada umat, bukan merambat ke atas pada kekuasaan. Ulama adalah mereka yang alim, tegas, dan sederhana, bukan mereka yang bergelimang dalam gemerlap kemewahan dunia dan toleransi pada kemungkaran. Lisannya adalah perisai bagi dakwah, bukan tameng bagi kekuasaan.

Siapakah yang pantas disebut sebagai ulama? Allahyarham Buya Hamka, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dalam sebuah tulisannya di Majalah Mimbar Agama, tahun 1951 menulis,

“Pemimpin agama; ulama, kiai, labai, ajengan, itulah waris daripada Nabi-nabi. Nabi yang tidak meninggalkan harta benda, tetapi meninggalkan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia. Ulama adalah pelita di waktu sangat gelap. Ulama adalah petunjuk jalan di belukar hidup yang tak tentu arah. Ulama adalah pemberontak kepada kesewenang-wenangan, melawan kezaliman dan aniaya.

Kebesaran ulama terletak dalam jiwa, bukan dalam pakaiannya yang menterang, baik jubah dan serban, atau tasbih dan tongkat kebesaran. Sayangnya ia pada seseorang karena Allah. Dari matanya terpancar cahaya keyakinan dan iman. Mereka berani menyatakan kebenaran, menyaksikan kebenaran, memberikan nasihat, berdasarkan kepada hukum-hukum yang diturunkan Tuhan. Tidak memutar-mutar, memusing-musing arti perintah Allah, karena mengharapkan ridha dari kekuasaan manusia. Sekali-kali tidak sudi  menyembunyikan kebenaran, padahal mereka tahu.

Mereka (ulama) mulia dan bergengsi tinggi karena iman dan kepercayaannya. Kalimat Allahu Akbar, Allah Mahabesar, telah mempengaruhi jalan hidupnya. Maka lantaran itu tidaklah pernah mereka merasa rendah diri terhadap sesama makhluk. Bagaimanapun besar kekuasaan seseorang manusia dan megahnya, namun bagi ulama sudah ada keputusan yang tetap, bahwa kegagahan dan kekuasaan yang tidak terbatas kalau hanya ada pada tangan manusia, tidaklah lebih daripada Namrud dan Fir’aun.

Mereka (ulama) kuat karena tidak pernah menengadahkan tangannya kepada sesama makhluk. Maka oleh karena kuat dan teguhnya semangat ulama, kerap terjadi kepala-kepala negara itulah yang terpaksa mengambil muka kepada ulama…

Ulama yang sejati tidaklah terikat oleh kemegahan nafsu dunia yang fana dan maya ini. Apa yang akan menarik mereka pada dunia? Datang ke dunia tidak berpakaian suatu apa, dan kembali ke akhirat hanya dengan kain kafan tiga lapis. Sebab itu, maka perutnya tidaklah menguasai dadanya, dan kepalanya tidak berat, yang menyebabkan timbul kantuk karena terlalu banyak memakan pemberian orang kaya atau orang-orang berkuasa…

Mereka (ulama) menempuh beribu macam kesulitan, dan mereka tahu akan kesulitan itu. Bilamana mereka telah tertegun melangkah, karena sulit rumitnya yang akan dihadapi, tiba-tiba mereka bangun kembali, sebab terdengung pula kembali di telinga mereka, “Al-Ulama waratsatul Anbiya” Ulama adalah penyambut warisan Nabi. Lantaran itu, mereka pun berjalan terus…”

natsir-hamka-isa-anshari
Natsir, Hamka, dan Isa Anshari

Nasihat kepada ulama atau dai juga disuarakan oleh Allahyarham Mohammad Natsir, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam sebuah tulisannya, Natsir mengatakan,

“Jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme) yang menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur, riya’ dan ujub (ingin dikagumi). Jika sifat ananiyah sudah masuk ke dalam niat tempat bertolak, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujung-ujungnya kembali kepada selera “aku” pribadinya.

Diantara sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu bersumber dari keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir dan batin. Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini, seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam-macam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk, menghela surut meskipun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian Tajammul (mencari muka) dengan mendekatkan diri mencari kesayangan orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubalig atau ulama akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut!”

Ulama adalah mereka yang berada dalam barisan kaum muslimin, bukan berada dalam barisan penguasa, apalagi penguasa yang zalim dan aniaya. Ulama harus mengakar ke bawah, bukan merambat ke atas, lalu menjalar perlahan-lahan dalam lingkar kekuasaan. Ulama seperti ini tak lebih dari stempel penguasa, bukan pengontrol kekuasaan.

Saat ini, kita menyaksikan banyak orang yang mengaku ulama, dai, habib dan ustadz, namun lebih senang merapat pada penguasa ketimbang umat Islam. Lisannya digunakan sebagai alat kekuasaan, bahkan menjilat dengan terang-terangan. Ketika pemerintah bermaksiat, lidahnya kelu dan kaku, tak mampu menyuarakan kebenaran.

Kita butuh figur ulama yang tegas,  alim, dan sederhana, yang tidak menjadikan penguasa sebagai tempat bersandar, apalagi tempat menggelembungkan pundi-pundi kekayaan.

Kita butuh ulama yang berani menyatakan kebenaran di hadapan penguasa, bukan ulama tajammul, yang bisanya Cuma berbasa-basi dan mencari muka dengan kekuasaan. (Artawijaya)

Melahirkan Pengikut, Bukan Penggemar

Dai yang mengedepankan popularitas hanya akan melahirkan umat yang menjadikan dakwah sebagai tontonan, bukan tuntunan. Seorang dai harus ikhlas berjuang, meski sepi dari riuh rendah sanjung dan pujian. Cahaya dakwah tak boleh kalah oleh silau gemerlap keduniaan.

 

Suatu ketika, seorang mubaligh muda datang bersilaturrahim ke rumah Syaikh Ahmad Soorkati, pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah. Sebagai seorang alim, Syaikh Soorkati diminta nasihatnya tentang perjuangan di jalan dakwah. Dengan bahasa yang sangat menyentuh, Syaikh Soorkati mengatakan, “Jalan yang engkau pilih ya waladi (wahai anakku) adalah jalan kefakiran dan kepapaan…tapi agung, karena itu adalah jalan yang ditempuh para anbiya (Nabi-nabi) dan mursalin (Rasul-rasul),”ujarnya lembut.

Cerita tentang Syaikh Soorkati dan mubaligh muda di atas dikisahkan oleh KH Mohammad Isa Anshari, tokoh Masjumi yang dikenal piawai dalam berdakwah. Dalam buku “Mujahid Dakwah” yang ditulisnya, dai yang terkenal sebagai singa podium dan anti Komunis ini menulis, “Akidah Islamiyah yang kita jadikan pegangang hidup, kita serukan kepada manusia, kita bela dengan segala cara, kita perjuangkan dengan segala kepenuhan hati dan kesungguhan, tidak pernah menjanjikan kesenangan dunia…” tulis Isa Anshari.

Karena itu, Isa Anshari menegaskan, sebagai seorang Muslim, sebagai seorang dai, idealisme yang harus dikedepankan bukanlah materi dan kesenangan duniawi. Seorang mujahid dakwah, katanya, adalah seorang yang menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada tegaknya kalimatullah. Isa Anshari mengatakan, seorang dai harus sadar bahwa tampilnya ia sebagai juru dakwah bukan karena sanjung dan pujian. Seorang dai harus mawas diri bahwa segala pujian adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Kekuatan seorang dai bukan pada pesona pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan hujjah yang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa menjemput jiwa dan rasa.”~ Moh. Natsir

Puja dan puji kepada seorang dai adalah “racun berbisa” yang bisa merusak gerak dakwah dan menciptakan kultus individu. Dengan bahasa yang menggugah, ulama asal Maninjau, Sumatera Barat, itu menuturkan, “Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar,” tuturnya.

dakwah

Dalam karya masterpiece-nya yang berjudul “Fiqhud Dakwah”, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Allahyarham Mohammad Natsir mengatakan, kekuatan seorang dai bukan pada pesona pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan hujjah yang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa menjemput jiwa dan rasa. Natsir menegaskan, jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme pribadi) yang bisa menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur (merasa besar/angkuh), riya’ (pamer), dan ujub (ingin menonjolkan diri).

“Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar.”

Jika sikap takabbur sudah bersemayam dalam niat tempat bertolak, kata Natsir, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujungnya kembali pada selera “aku” pribadinya. Diantara bentuk sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu, menurut Natsir, bersumber pada keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir maupun batin.

Natsir mengingatkan, “Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam-macam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk (kembali pada kebenaran), menghela surut walaupun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian tajammul, mencari muka dengan mendekatkan diri pada orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubaligh akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut,” katanya.

microphone-mic-in-public

Penerus Natsir, Ustadz Syuhada Bahri yang kini pernah menjabat sebagai Ketua Umum DDII mengatakan, dai yang bisa melahirkan pengikut adalah dai yang memiliki ilmu. “Yang ia berikan ilmu. Tapi kalau yang melahirkan penggemar, ia hanya punya kemampuan entertaint. Ilmunya hanya diputar-putar di situ saja. Kalau yang lahir penggemar, jika dainya berbuat sesuatu yang tidak disetujui penggemarnya, maka dakwahnya akan bubar. Tapi kalau dai yang melahirkan pengikut, tidak. Sebab ukurannya nilai, bukan orangnya,” terang dai yang mengalami asam garam dakwah di pedalaman terpencil ini.

Tokoh pergerakan internasional, Syaikh Fathi Yakan menyebutkan, diantara karakteristik dakwah dan dai yang harus diterapkan para kafilah dakwah adalah melakukan uzlah dalam pengertian maknawi, yaitu mengisolasi diri dari hawa nafsu duniawi dan sistem jahiliyah. Seorang dai, kata Fathi Yakan, adalah orang yang membawa prinsip-prinsip dakwah Rabbaniyah, yaitu segala konsep, hukum, akhlak, tradisi, dan ide-ide yang bersumber dari dienullah dan risalah Rasul-Nya. Prinsip-prinsip ini tak boleh dikotori oleh kepentingan duniawi.

Sunatullah dakwah adalah penuh onak dan duri, bukan sanjung dan puji. “Berharap senang dalam berjuang…bagai merindukan rembulan di tengah siang,” begitu senandung nasyid mengalun merdu.

Sunatullah dakwah juga dijalani oleh para Nabi dan Rasul. Habib Muhammad Rizieq Syihab, Ketua Umum Front Pembela Islam, mengatakan, “Jika perjuangan dakwah yang kita jalani selama ini lancar dan aman-aman saja, kita justru perlu bermuhasabah, jangan-jangan ada yang salah dalam dakwah kita.”

Berdakwah menegakkan kalimatullah adalah panggilan tugas dan perjuangan seorang Muslim. Karena itu, seorang dai harus siap berjuang di tengah sunyi senyap sanjung dan pujian. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman, ”Beramallah kalian, dan Allah pasti akan melihat amalan kamu, dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada-Nya, yang Maha Tahu hal yang gaib dan yang nampak, dan Dia memberi tahu kamu apa yang telah kamu perbuat.” (At-Taubah:105). /Artawijaya

Radjiman Wedyodiningrat: Dari Theosofi Hingga Freemasonry

Radjiman adalah satu-satunya anggota Freemason berdarah Jawa yang tulisannya dimuat dalam Gedenkboek van de Vrijmetselarij in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 ( Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1917.

Siapa tak kenal Radjiman Wedyodiningrat? Tokoh kelahiran, desa Mlati, Yogyakarta, 21 April 1879 ini adalah orang yang memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan ideolog yang cukup berpengaruh di negeri ini, khususnya di kalangan kelompok nasionalis sekular. Bahkan, ada yang menyebut dirinya sebagai ideolog pertama yang dimiliki bangsa Indonesia.

Dalam sidang BPUPKI yang dipimpin Radjiman inilah, pertama kalinya Soekarno yang diberi kesempatan berpidato, memperkenalkan istilah Pancasila. Sidang dilaksanakan di Pejambon, Jakarta Pusat, dengan beranggotakan 62 orang yang terdiri dari kalangan Islam dan nasionalis sekular. Dalam persiangan yang berlangsung selama dua kali; tanggal 1 Juni 1945  dan 10-16 Juli 1945, dibahas tentang dasar negara dan konsep berbangsa dan bernegara. Nah, di tangan Radjiman inilah palu sidang dipegang.

Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T) Radjiman Wedyodiningrat termasuk salah seorang founding father (pendiri) negeri ini. Ia dikenal sebagai aktivis Theosofi. Bahkan, sebelum dirinya berangkat menimba ilmu di Eropa, ia sudah menjadi anggota organisasi internasional yang didirikan oleh Helena Petrovna Blavatsky tersebut.[1] Selain terpengaruh oleh pemikiran para petinggi Theosofi seperti Blavatsky, Annie Besant, Leadbeather, dll, Radjiman juga sangat terpengaruh dengan para filsuf Barat, seperti; Immanuel Kant[2], Henry Bergson[3], dan Karl Marx. [4]

Selain itu, sebagaimana dalam artikel-artikel yang ditulisnya di Surat Kabar Timboel yang dipimpinnya, Radjiman juga banyak mengutip pendapat Syekh Siti Jenar, Budha, Kristus, Hendrik Kraemer (seorang misionaris Kristen Jesuit yang cukup terkenal di Indonesia), bahkan Sigmund Freud. Artikel-artikel Radjiman kebanyakan bertemakan filsafat dan hal-hal yang berkaitan dengan kebatinan, mitologi, dan pencampuradukkan doktrin dari berbagai agama dan kepercayaan. Kejawaan dan pemikiran Barat menjadi sumber kepribadian dan pemikirannya.[5]

radjiman6
Kumpulan tulisan karya Radjiman

Radjiman adalah dokter alumunus School toot Ovleiding van Indische Artsen (STOVIA) yang banyak mengenyam pendidikan di Eropa. Beragam penghargaan juga pernah diraihnya dari negara-negara yang pernah dijadikan tempatnya menimba ilmu. Radjiman mengaku mengenal Theosofi saat bertugas di Rumah Sakit Semarang. Saat bertugas di daerah itu, ia berkenalan dengan seorang guru bernama R. Prawirahardja, yang mengenalkan dirinya pada ajaran Theosofi. Keduanya sering terlibat diskusi mengenai Theosofi dan filsafat.[6]

Radjiman yang sudah tenggelam dalam ajaran Theosofi kemudian mengembangkan ajaran itu ketika bertugas sebagai dokter di Sragen, Jawa Tengah. Pasien-pasien yang berobat kepadanya diberi ‘suplemen’ tambahan tentang Theosofi. Mereka yang sembuh kemudian ditarik menjadi anggota Theosofi. Di kota inilah Radjiman kemudian mendirikan cabang Theosofi dengan menggunakan nama organisasi “Wedha Sanjaya” (Sumber Penerang).[7]

Radjiman juga rajin mengadakan diskusi mengenai Theosofi dengan para Theosof keturunan priayi Jawa lainnya. Misalnya pertemuan Rabu Wage yang diselenggarakan  di rumah Ki Hadjar Dewantara. Selain membicarakan soal Theosofi, pertemuan yang juga dihadiri oleh Ki Ageng Suryomentaram, Mr Singgih, Dr Supomo, Dr Sukiman Wirjosanjoyo, dan Ali Sastromijoyo, juga membicarakan tentang masalah yang berkaitan dengan pergerakan nasional.[8]

Sebelumnya, Radjiman juga berkenalan dengan Ny. Zehenter dan Tuan Warstadt yang menggiringnya untuk mempelajari spiritisme atau pemanggilan roh halus. Kemudian,untuk memperdalam Theosofi, Radjiman belajar dan berinteraksi langsung dengan tokoh Theosofi, seperti Dirk van Hinloopen Labberton. Selain di Indonesia, Radjiman juga menjalin hubungan dengan para Theosof dunia, seperti Annie Besant, Charles Webster Leadbeater, dan Jiddu Krisnamurti. Pertemuannya dengan Annie Besant terjadi saat dirinya menghadiri ceramah Krisnamurti di Belanda.[9]

Selain dekat dengan kalangan Theosofi, setahun sebelum dirinya diangkat sebagai Ketua Boedi Oetomo (1914),  pada 1913 Radjiman secara resmi masuk menjadi anggota Freemasonry (Vrijmetselarij) atau Golongan Kemasonan sebagaimana istilah yang disebut oleh para priyai Jawa pada masa itu. Perkenalannya dengan berbagai tokoh Theosofi dunia, tentu tak menyulitkannya untuk masuk sebagai anggota Freemasonry. Untuk menjadi seorang Mason, harus mendapat rekomendasi sedikitnya oleh dua orang yang terlebih dulu menjadi Mason.[10]

Melihat kedekatan Radjiman dengan beberapa tokoh Theosofi yang juga Mason, besar kemungkinan Radjiman mendapat rekomendasi dari mereka. Selain Radjiman, saat  itu juga banyak dari para elit Jawa dan anggota Boedi Oetomo yang masuk dalam organisasi ini. Setelah menjadi anggota Freemasonry, Radjiman juga pernah diamanahi sebagai Ketua Neutrale Onderwijs Vereeniging (Perhimpunan Pendidikan Sekular), sebuah organisasi milik Freemasonry.[11]

Radjiman pernah menjabat sebagai dokter pribadi di Keraton Surakarta. Karena pengetahuannya yang luas, Radjiman menjadi orang kepercayaan para elit keraton. Ia misalnya pernah menemani Pangeran Ario Koesumo Yoedo bertemu dengan Sri Ratu Wilhelmina pada 1923 di Belanda. Pangeran Ario adalah orang Indonesia pertama yang menuntut ilmu di Universitas Leiden, Belanda. Selain ke Belanda, keduanya juga berkeliling ke negara-negara Eropa dan Mesir. Keduanya melakukan perjalanan keliling ke beberapa negara selama enam bulan.[12]

Hubungannya dengan kalangan keraton inilah disebut-sebut menjadi gerbang pembuka bagi Radjiman untuk bertemu dengan tokoh-tokoh nasional lainnya, diantaranya Soekarno.Selain menjadi pimpinan sidang BPUPKI, bersama Soekarno, Radjiman juga pernah menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).[13]

Saat Boedi Oetomo di bawah kepemimpinan Radjiman, corak organisasi ini sangat kental dengan nuansa Theosofi. Dan di organisasi Boedi Oetomo, Radjiman-lah sosok yang dikenal dalam menjegal aspirasi Islam.Dalam laporan kongres yang diselenggarakan pada 5-6 Juli 1917, Radjiman dengan tegas menolak usulan agar ajaran Islam dimasukkan dalam Boedi Oetomo. Ia mengatakan,

“Kebudayaan Jawa sifatnya bukan Islam. Hinduisme dan Budhaisme yang merangsang terciptanya karya-karya dan monumen-monumen seni. Karya-karya tersebut, baik berbentuk kata maupun batu, adalah yang kini menjadi harta nasional bangsa. Jika mengikuti hukum Islam secara konsekuen, maka seni pahat, seni patung, seni sastra Jawa akan lenyap. Demikian pula nasib adat istiadat Jawa. Kebiasaan utama pada saat kelahiran, perkawinan dan peristiwa-peristiwa keluarga lainnya, dasarnya adalah agama Hindu dan Budha. Berdasarkan berbagai alasan, ia menyatakan sama sekali tidak dapat dipastikan bahwa orang Jawa Tengah sungguh-sungguh dan sepenuhnya menganut agama Islam.”[14]

Usulan Radjiman yang menolak masuknya ajaran Islam dalam Boedi Oetomo kemudian diterima oleh peserta kongres. Inilah fakta sejarah, dimana sebuah organisasi yang dijadikan landasan sebagai kebangkitan nasional di sebuah negeri yang mayoritas penduduknya Muslim, tetapi sangat alergi terhadap ajaran Islam. Boedi Oetomo tak lebih dari organisasi yang menjadikan asas sekularisme, Kejawen, dan Theosofi sebagal pijakan pergerakannya.

radjiman4
Buku Biografi Radjiman

Sikap Radjiman terhadap Islam juga terlihat dalam tulisannya di Majalah Timboel, 1927. Bersama Singgih, teman diskusinya di pertemuan Rebo Wage, Radjiman menulis artikel yang menyerang Sarekat Islam dan H.Agus Salim. Tulisan itu menyatakan, Sarekat Islam yang mula-mula organisasi rakyat, telah jatuh ke tangan para rohaniawan seperti H Agus Salim, sehingga mengabaikan kepentingan sosial, ekonomi, dan dikalahkan oleh kepentingan religius murni, serta menjalankan Pan-Islamisme yang membahayakan gerakan nasionalis.[15]

Radjiman adalah satu-satunya Mason berkebangsaan Jawa yang tulisannya dimuat dalam Gedenkboek der Vrijmetselarij in Nederlandsche Indie 1767-1917( Buku Kenang-Kenangan Freemasonry di Hindia Belanda 1767-1917) yang diterbitkan di Semarang, Jawa Tengah, pada 1917. Dalam buku tebal yang menjadi bukti tak terbantahkan tentang keberadaan Freemasonry di negeri ini, Radjiman menulis sebuah artikel berjudul, ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting Freemasonry di Hindia Belanda, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda tersebut.[16]

radjiman3
Rumah Radjiman di Ngawi, Jawa Timur

Radjiman meninggal di Ngawi, Jawa Timur, pada  20 September 1952. Ia meninggal dalam usia 73 tahun. Rumah kediamannya di desa Dirgo, Widodaren, Ngawi, sampai hari ini masih berdiri dan dijadikan museum. Radjiman mendapat gelar Pahlawan Nasional berdasarkan. Keputusan Presiden RI Nomor 68/TK/2013 tertanggal 6 November 2013.

Dengan beragam jabatan penting yang pernah didudukinya, Radjiman tentu meninggalkan jejak sejarah dan pemikiran yang tidak sedikit. Tulisan ini, hanya sekilas memotret perjalanan hidupnya. (Artawijaya)

—-

Disarikan dari buku Gerakan Theosofi di Indonesia karya Artawijaya

Catatan kaki:

[1] Robert van Niel, Munculnya Elit Modern Indonesia, Jakarta: Pustaka Jaya, hlm.79. Mengenai sebutan bahwa Radjiman adalah ideolog pertama yang dimiliki bangsa Indonesia, lihat: Soebaryo Mangoenwidodo, DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952, Jakarta: Yayasan DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat, 1994, hlm..45. Lihat juga: M.C Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2004, Jakarta:Serambi Ilmu,2008, hlm. 345.

[2] Immanuel Kant (1724-1804) adalah filosof yang mengusung paham subyektifisme.Ia menulis berbagai macam kritik terhadap akal budi, kehendak manusia, rasa, dan agama.

[3] Henry Bergson (1859-1941) adalah filosof berdarah Yahudi yang corak filsafatnya bersifat spiritualistis dan anti-rasionalisme.

[4]Karl Marx (1818-1883) adalah pria kelahiran Jerman, keturunan Yahudi yang kemudian masuk Kristen dan menjadi Atheis. Marx menyelesaikan S-3 filsafat dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Marxisme, dengan teori pertentangan kelas yang menghasilkan survival of the fittest, dalam perjalanan sejarahnya sangat berdarah-darah. Marx bahkan pernah mengatakan, “agama adalah madat” dan “Tuhan adalah konsep yang menjijikan”. Marx juga bagian dari jaringan rahasia Illuminati, yang ditugaskan bersama Friedrich Engels untuk menyusun program revolusi dunia. Keduanya menulis buku Manifesto Komunis dan Das Kapital untuk diserahkan kepada Loge Komunis atas perintah Illuminati. Mengenai para filsuf dan filsafat yang diajarkannya, lihat: DR. Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, Jakarta:Ghalia Indonesia,1986, Cet.Kedua.

[5] Soebaryo Mangoenwidodo, DR. K.R.T Radjiman Wediodiningrat Perjalanan Seorang Putra Bangsa 1879-1952, Op.Cit., hlm..44 dan 124. Pikiran-pikiran Radjiman, terutama yang berbau Theosofi dan kebatinan, juga bisa dilihat dalam Radjiman Wediodiningrat, Himpunan Karangan: Peringatan 17 Agustus 1952, Jogjakarta:Kanisius, 1952. Sampul depan buku Radjiman bergambar simbol kepercayaan anggota Mason, ”Mendes” atau juga biasa disebut ”Baphomet”.

[6] Ibid, hlm.27

[7] Ibid,hlm.30.

[8] Ibid

[9] Ibid, hlm.122-123

[10] Norman Mackenzie, Secret Societies, New York:The MacMillah Company, 1971, hlm.129

[11] Op.Cit., hlm.44 dan 61

[12] Ibid, hlm. 40. Tak ada keterangan jelas mengenai kunjungan keduannya ke beberapa negara yang memakan waktu setengah tahun itu. Ada dugaan, keduanya berkunjung ke negara-negara yang sangat lekat dengan peninggalan-peninggalan kebudayaan dan tradisi kuno, seperti Yunani dan Mesir.

[13] Ibid, hlm.45

[14] Dikutip dari W Poespoprodjo, Jejak-Jejak Sejarah 1908-1926 Terbentuknya Suatu Pola, Bandung: Remadja Karya, 1984, hal.36-40

[15] Seperti dikutip dari Zaini Muctarom, Santri dan Abangan di Jawa, Jakarta:INIS, 1988, hal.50

[16]Lihat, Gedenkboek van de Vrijmetselaaren in Nederlandsche Oost Indie 1767-1917, Semarang-Soerabaia’s Gravenhage: G.C.T van Dorp&Co., 1917