Hidup Sederhana dan Bersahaja

Kebergantunganya pada akhirat, membuatnya terlepas dari segala beban keduniaan yang mengganjalnya dalam memimpin kaum muslimin.

Bukan karena ia tak mampu mengumpulkan pundi-pundi harta dan membeli barang-barang yang mewah. Sebagai khalifah yang agung, ia bisa saja melakukan itu semua. Namun, ketakutannya kepada Allah membuatnya berhati-hati dengan segala harta benda yang dimilikinya. Ia memilih hidup sederhana dan bersahaja, menumpuh jalan zuhud (memanfaatkan dunia sekadarnya) dan wara‘ (menahan diri dari hal-hal yang syubhat dan haram). Dialah Umar bin Abdul Aziz, khalifah dari Bani Umayyah yang namanya bersinar dalam bentangan sejarah kaum muslimin.

Suatu ketika, Khalifah Umar bin Abdul Aziz terlambat datang shalat Jumat. Orang-orang yang hadir menunjukkan raut wajah tak suka. Seorang bertanya kepadanya, “Kenapa paduka Tuan terlambat datang?” Umar menjawab, “Aku terlambat karena menunggu gamisku (yang baru dicuci) kering.” Orang-orang yang mengetahui hal itu lantas terharu. Seorang khalifah dengan segala kekuasaannya, bisa saja menggunakan dana dari Baitul Maal, atau dana taktis seperti pada masa sekarang, untuk membeli segala atribut untuk penampilannya.Tetapi itu tidak dilakukannya.”Aku takut terhadap perhitungan yang berat dan pertanggungjawaban yang besar (di akhirat),”ujarnya.

Karena kesederhanaan dan kebersahajaan hidupnya, ada yang menyebut Umar bin Abdul Aziz sebagai khalifah kelima setelah empat khulafaurrasyidun (Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab, Ali bin Abi Thalib, dan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhum).”Orang yang paling zuhud adalah Umar bin Abdul Aziz, dimana dunia datang kepadanya, namun ia justru pergi meninggalkannya,” demikian kata Malik bin Dinar dalam Hilyatul Auliyaa’.

Kebergantunganya pada akhirat, membuatnya terlepas dari segala beban keduniaan yang mengganjalnya dalam memimpin kaum muslimin. Ia tidak memiliki rasa takut untuk menegakkan hukum kepada siapapun yang melakukan kezaliman. Ia tak pernah pandang bulu dan pilih tebang dalam menegakkan kebenaran. Ia tak memiliki track record yang buruk, yang bisa dijadikan sasaran tembak musuh-musuhnya.

Berbeda dengan kondisi saat ini, dimana para pemimpin, aparat penegak hukum, dan tokoh-tokoh politik saling menyandera.Pemimpin tak berani menegakkan hukum dengan adil, karena ia tersandera secara politik, yang disebabkan catatan buruk atau ‘kartu truf’ yang dipegang oleh lawan-lawan politiknya. Pemimpin yang hidup sederhana, ia tak akan pernah tersandera oleh kepentingan-kepentingan dunia. Ia akan berdiri tegak mendongakkan kepala melawan segala bentuk kemungkaran.

Haji Agus Salim, seorang tokoh bangsa ini adalah contoh lain dari potret kesederhanaan seorang pejabat negara. Ia seorang menteri dan diplomat ulung yang cukup disegani di dunia internasional. Sumbangsihnya untuk negeri ini tak terbilang jumlahnya. Penampilannya sederhana; Jas lusuh, kopiah, dan kain sarung. Namun itu semua tak mengurangi akalnya yang brilian dan keberaniannya dalam berdiplomasi.

Leiden is lijden! Memimpin itu menderita. Jalan kepemimpinan adalah jalan pengabdian, jalan penderitaan, bukan jalan bersenang-senang untuk mengumpulkan pundi-pundi kekayaan. Itulah gambaran Kasman Singodimedjo terhadap sosok Haji Agus Salim, ketika ia mengunjungi rumahnya yang berada di gang sempit dan becek. Potret itu juga yang dilihat oleh para kolega Salim ketika mereka mengetahui bahwa sang diplomat ulung itu tidak mampu membeli kain kafan yang bagus ketika anaknya meninggal dunia. Sebagai pejabat negara, tokoh yang menjadi mentor para pendiri bangsa itu bahkan harus hidup mengontrak berpindah-pindah rumah.

Keteladanan juga tercermin dari kesederhanaan hidup Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari. Ia hidup mandiri, makan dan membiayai hidupnya dari apa yang diusahakannya, tanpa bergantung pada orang lain. Diceritakan, selain mengajar para santrinya, KH Hasyim Asy’ari juga berladang di sawah dan pergi menjajakan barang dagangannya berniaga ke Surabaya.

Padahal, sebagai seorang alim dengan murid yang sangat banyak, bisa saja ia hidup mengandalkan pemberiaan para santrinya. Namun itu tidak ia lakukan, semata-mata ingin mengamalkan apa yang dipesankan oleh baginda Rasulullah SAW, bahwa sebaik-baik pekerjaan, adalah usaha dengan tangannya sendiri. Membiayai hidup dengan hasil keringat sendiri, ketimbang harus mengharapkan belas kasih orang lain, atau memanfaatkan kedudukannya untuk memperkaya diri. Baginya, rejeki yang ada harus disyukuri dengan hidup yang sederhana, karena segala harta benda yang kita miliki itu fana.

Rasulullah SAW mengingatkan, bahwa ada empat perkara yang Allah akan hisab di akhirat kelak, dimana tidak akan beranjak kaki seorang hamba sebelum ditanya tentang hal tersebut, diantaranya adalah, “tentang hartanya; dari mana ia peroleh dan kemana ia belanjakan.” (HR At-Timidzi)

~Artawijaya~

*Dimuat di Harian Duta Masyarakat, Jawa Timur

Corak Dakwah Persatuan Islam (Persis)

Cermin dari intelektulitas yang matang terlihat dalam setiap perdebatan yang tidak diiringi dengan cara-cara kekerasan terhadap orang yang berbeda pendapat. Betapapun tajamnya perbedaan itu, semua diselesaikan melalui tukar pikiran dan beradu hujjah.

Persatuan Islam (Persis) yang didirikan di Bandung pada 12 September 1923 menyelenggarakan Muktamar XV di Jakarta, 21-23 November 2015.Ormas yang sekarang memasuki usia 92 tahun ini berusaha mengokohkan kiprahnya dalam gerakan dakwah di negeri ini dengan mengusung tema “Dinamisasi Jihad Jam’iyyah untuk Menghadapi Tantangan Dakwah“. Dari tema tersebut tergambar dua hal yang sangat penting, yang berusaha dibahas dalam arena muktamar, yaitu dinamisasi organisasi (jam’iyyah) dan tantangan dakwah. Sebagai organisasi yang mengusung gerakan perubahan (harakah tajdid) tentu dua hal ini sangat penting untuk dibicarakan dalam musyawarah para muktamirin.

Dengan kata lain, Persis berusaha untuk melakukan secara kontinyu upaya-upaya mendinamisasi organisasinya agar tidak stagnan (jumud) dan tertinggal jauh dengan ormas-ormas Islam lainnya, sehingga dengannya organisasi ini mampu merespon tantangan dakwah yang ada di depan. Karena, dalam sebuah perjuangan dibutuhkan kekuatan organisasi dan kader-kader yang tangguh, yang bisa menjadi ‘mesin-mesin’ pembawa perubahan dan memberikan respon yang tepat terhadap tantangan zaman, khususnya tantangan dakwah di depan.

Untuk memuluskan langkah dinamis organisasi, Persis diantaranya berusaha melakukan terobosan baru dalam bidang pendidikan dengan mendirikan universitas. Terobosan ini tentu bukan berarti baru kali ini Persis memikirkan jenjang pendidikan tingkat perguruan tinggi, karena sebelumnya Persis juga sudah mendirikan Sekolah Tinggi dan Ma’had Aly. Keberadaan universitas tentu untuk memperluas jangkaun program pendidikan yang bisa memberi manfaat lebih besar.Dalam sebuah wawancara, Ketua Umum Persis, Prof. Maman Abdurrahman menyatakan,”Kalau saya inginnya di tahun 2015 ini ada (lahir dari kalangan Persis, pen) 15 profesor, 25 orang doktor, dan 100 orang magister.” (Majalah Risalah, No. 8, Th. 53, November 2015).

Tradisi keilmuan dan intelektualitas di kalangan Persis memang begitu kental. Ustadz A. Hassan (1887-1958) sebagai guru utama organisasi ini adalah sosok yang dikenal sebagai ulama dan intelek yang sangat mencintai ilmu dan melahirkan karya-karya besar. Ia juga banyak terlibat dalam suatu perdebatan ilmiah dengan berbagai kalangan, dari tokoh Kristen, atheis, tokoh pergerakan nasional, dan kelompok yang dianggap menyimpang dari ajaran Islam. Dalam setiap perdebatan, intelektualitas A. Hassan terlihat menonjol dengan argumentasi-argumentasi yang kuat. Ia tekun meneliti segala hal yang menjadi isu dan perhatian umat Islam, terutama dalam soal-soal agama.

Cermin dari intelektulitas yang matang terlihat dalam setiap perdebatan yang tidak diiringi dengan cara-cara kekerasan terhadap orang yang berbeda pendapat. Betapapun tajamnya perbedaan itu, semua diselesaikan melalui tukar pikiran dan beradu hujjah. Perdebatan yang cukup terkenal dalam sejarah adalah ketika A. Hassan berhadapan dengan tokoh Ahmadiyah pada tahun 1933.Ribuan orang datang menghadiri perdebatan itu, namun tak ada kekerasan fisik sekecil apapun yang terjadi. Begitupun dengan perdebatan-perdebatan A. Hassan lainnya.

Sejak didirikan, Persis memang dikenal sebagai organisasi yang sangat responsif terhadap isu-isu yang menyangkut umat Islam. Pada tahun 1929, Persis menjadi inisiator berdirinya Komite Pembela Islam di Bandung.Komite ini didirikan untuk merespon berbagai pelecehan terhadap Rasulullah yang marak ketika, juga untuk menangkis serangan-serangan yang dilakukan oleh tokoh-tokoh di luar Islam terkait ajaran-ajaran Islam. Komite ini begitu terkenal pada masa itu, terutama di Bandung dan Batavia, karena sikap responsifnya dalam menjawab tantangan musuh-musuh Islam.

hamka4
Moh. Natsir salah seorang intelektual Persis

Selain A. Hassan, tokoh intelektual Persis lainnya yang cukup dikenal sebagai sosok yang responsif di antaranya adalah Mohammad Natsir. Ia banyak terlibat dalam polemik di media massa, terutama terkait hubungan antara Islam dan kenegaraan. Ia juga dikenal sebagai kader A. Hassan yang cemerlang, karena penguasaanya terhadap literatur-literatur Barat dan ketekunannya dalam mempelajari Islam. Sebagai seorang aktifis dan intelektual, Natsir juga terlibat aktif dalam merumuskan peletakan dasar-dasar negara ini. Namanya masuk dalam daftar founding father yang cukup berjasa. Ia pernah menjadi Perdana Menteri pertama RI, Menteri Penerangan, dan penggagas “Mosi Integral” pada tahun 1950 yang menjadi cikal bakal Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Dengan coraknya yang demikian, maka bisa dibilang, Persis adalah organisasi radikal dalam pemikiran, namun bersikap moderat dalam menjalankan gerakannya dan dalam menghadapi realitas di lapangan. A. Hassan, meski mendapat julukan “Pemikir Islam Radikal” (Lihat: Syafiq A. Mughni, 1994), namun pada kenyatannya adalah sosok yang bersahabat dan mencintai negeri ini. Baginya, upaya menegakkan ajaran-ajaran Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara, haruslah ditempuh dengan cara-cara damai.

Berpikir dan bertindak radikal dalam pengertian Persis adalah kokoh memegang prinsip yang berlandaskan hujjah (argumentasi) berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, dan bersikap tegas terhadap upaya-upaya perusakan ajaran-ajaran Islam. Keteguhan Persis dalam memegang prinsip tersebut adalah manifestasi dari upaya mengajak umat Islam untuk menjalankan agama berdasarkan apa yang diajarkan oleh Allah dan Rasul-Nya, dan menegakkan amar makruf nahi mungkar jika terjadi penyimpangan dan pelecehan terhadap Islam, baik yang dilakukan oleh internal umat Islam, maupun kelompok eksternal di luar Islam.

Dalam bahasa Howard M. Federspiel, seorang peneliti dan penulis disertasi tentang Persis berjudul”Persatuan Islam:Islamic Reform in Twentieth Century Indonesia” dikatakan,”Arti penting Persatuan Islam lebih terletak pada upayanya dalam mendefinisikan penegakan Islam, prinsip-prinsip yang mendasarinya, dan perilaku muslim yang semestinya bagi masyarakat Indonesia. Dalam menggambarkan Islam, para aktivis Persatuan Islam menghindari pelbagai konsep dan generalisasi yang samar yang lazim di Indonesia dan menyibukkan diri dengan rincian dan substansi perilaku keagamaan.” (Federspiel, 2004: 9-10).

Ke depan, tentu saja orientasi keilmuan (ittijah ‘ilmiyah) dan tradisi intelektual (at-turats at-tsaqafi) Persis harus tetap menjadi acuan gerak organisasi. Sehingga Persis akan tetap dinamis dan responsif terhadap persoalan zaman. ~Artawijaya~

 

 

 

 

Persaudaraan dalam Tali Iman

 

Suatu ketika, sebagaimana diriwayatkan oleh Umar bin Al-Khathab Radhiyallahu Anhu, di hadapan para sahabatnya Rasulullah SAW mengatakan,”Sungguh di antara manusia pada hari Kiamat kelak, ada sekelompok orang yang bukan golongan para Nabi dan bukan pula syuhada, namun para Nabi dan syuhada iri akan kedudukan mereka di sisi Allah.” Para sahabat tertegun, lalu bertanya pada beliau,”Siapakah mereka, ya Rasulullah?” Beliau menjawab, “Mereka adalah kaum yang saling mencintai karena Allah, padahal mereka tidak memiliki hubungan darah dan tidak saling mewariskan. Demi Allah, sungguh wajah-wajah mereka bercahaya dan mereka berada di atas cahaya. Mereka tidak merasakan takut, pada saat semua orang merasakan ketakutan, dan tidak merasakan sedih pada saat semua orang merasakan kesedihan.” (HR. Abu Dawud)

Mencintai karena Allah. Itulah kuncinya. Itulah syarat untuk mendapatkan cahaya kelak di hari Kiamat. Itulah persaudaraan dan persahabatan yang hakiki. Persahabatan yang diikat bukan dengan uang dan kepentingan duniawi. Persahabatan yang dilandasi dengan buhul ketauhidan, iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Asas iman inilah yang melahirkan energi yang kuat untuk saling mencintai. Meskipun ruang dan jarak berjauhan. Meskipun berbeda suku bangsa dan negara. Inilah cinta dalam persaudaraan yang tidak bisa disekat oleh batas.“Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara…” (Al-Hujurat:10)

Diantara upaya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam dalam membangun kesatuan dan kekuatan umat setelah hijrah dari Makkah ke Yatsrib (Madinah), adalah dengan mengikatkan tali persaudaraan (ta`akha) antara kaum Muhajirin dan Anshar. Rasulullah memahami, dalam setiap komunitas dan pergaulan, masing-masing tentu mempunyai ambisi, keinginan, dan hasrat alami (naluriah), yang jika tidak diikat dengan tali persaudaraan (ukhuwah) maka akan terjadi gesekan kepentingan (conflict of interest).

Sebagai sekumpulan manusia, bukan malaikat, baik kalangan Muhajirin atau Anshar, tentu memiliki keinginan dan ambisi masing-masing. Bisa jadi satu kelompok merasa paling berjasa dari kelompok lain, atau merasa paling berperan dalam perjuangan dakwah bersama Rasulullah SAW. Itu wajar dan manusiawi. Namun, jika potensi konflik itu tidak bisa diredam, maka akan menimbulkan gejolak dan permusuhan. Di sinilah Rasulullah berperan dalam memberikan tarbiyah, bahwa di atas segala kepentingan itu, ada keimanan yang mengikat kita. Keimanan itulah yang melahirkan rasa aman, rasa saling menyayangi, rasa saling menanggung amanah dakwah, dan seterusnya.

Ikatan Persaudaraan dalam tali keimanan inilah yang menghapus sekat-sekat primordialisme, fanatisme kelompok, egoisme pribadi, dan sebagainya. Ikatan inilah yang kemudian dikuatkan dengan sabda Rasulullah bahwa tidak ada bedanya antara orang Arab dan orang ‘Ajam (non Arab), sesungguhnya yang membedakan mereka adalah ketakwaannya.

Karenanya, sebagai wujud dari saling cinta, Rasulullah mengingatkan, bahwa jiwa seorang muslim, harta seorang muslim, kepribadian seorang muslim, haram untuk ditumpahkan, dirampas, dan dibunuh karakternya. Dalam hadits lain, Rasulullah menegaskan,“Tidak beriman seorang di antara kalian, sampai ia mencintai saudaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).

5490_1063793569937_1678933943_128973_99458_n

Betapapun mungkin kita saling berbeda pandangan, berbeda dalam menyikapi persoalan, apalagi berbeda dalam urusan furu’ (cabang) bukan ushul (pokok), maka ikatan keimanan tak boleh putus. Kecintaan kita kepada sesama muslim, selain wujud dari keimanan kita, adalah upaya menjaga loyalitas dan kerahiman kita sebagaimana yang diamanatkan oleh Al-Qur’an Al-Karim. “Muhammad itu utusan Allah; dan orang-orang yang bersamanya itu tegas terhadap kaum kafir dan berkasih sayang terhadap sesama muslim” (Al-Fath:29).

Soekarno pernah berpolemik hebat dengan A. Hassan, guru dari Persatuan Islam (Persis). Pena yang mereka torehkan seperti peluru yang saling menerjang. Namun, ketika Soekarno ditahan di Penjara Sukamiskin, Bandung, A. Hassan lah diantara orang yang pertama kali datang dan membesuk. Membawa sekaleng kacang mete kesukaan Soekarno. Begitupun, ketika A. Hassan sakit dan dirawat di sebuah rumah sakit di Jawa Timur, tanpa sepengetahuannya, Soekarno lah yang memberikan biaya perawatan di rumah sakit tersebut.

Sungguh persahabatan yang indah, meskipun keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Cahaya keimanan yang mengikat persaudaraan tak boleh dipadamkan hanya karena berbeda pandangan. Ada iman yang menjadi perekat. Ada hak dan kewajiban sesama muslim yang saling melekat. Untuk mengokohkan tali persahabatan dan persaudaraan, Rasulullah pernah menyuruh Anas bin Malik Radhiyallahu Anhu untuk menyatakan kepada sahabat yang dicintainya dengan ungkapan, “Ana uhibbukum fillah...(Aku mencintaimu karena Allah)”  ~Artawijaya~

 

 

Mengenang Ustadz Abdurrahim Nur, Dai Perekat Umat

Sejak muda, ia sudah bergelut dalam dakwah. Keluasan ilmunya membuat ia disegani ulama-ulama lainnya. Ia dibesarkan di lingkungan NU, nyantri di Persis, dan berkiprah di Muhammadiyah.

Waktu menunjukan pukul 04.30 WIB subuh dinihari, saat kami tiba di Masjid Nurul Azhar, Porong, Sidoarjo Jawa Timur. Adzan subuh sudah lama berlalu, namun jamaah masih terlihat menunaikan shalat. Tampaknya sang imam membaca surah yang panjang. Meski pagi buta, parkiran kendaraan yang terdiri dari sepeda ontel dan motor terlihat padat berjejer rapi. Hal ini mungkin berbeda dengan di beberapa daerah lainnya, dimana subuh hanya diisi berapa shaf saja.

Subuh itu kami datang ke masjid tersebut untuk menemui Ustadz Abdurrahim Nur, tokoh Jawa Timur yang sangat disegani. Kurang afdol rasanya jika berkunjung ke Sidoarjo, namun tidak bertemu dengan ulama yang dikenal luas ilmunya tersebut. Bagi masyarakat Sidoarjo, sosok ini memang menjadi panutan.

Pagi bakda subuh, di pertengahan Juni tahun 2005, kami berkesempatan mengikuti kajian tafsir yang diajar oleh beliau. Cara ia mengajar sangat sederhana dan tradisional. Jamaah yang hadir duduk melingkar sambil mendengarkan uraian sang ustadz. Metode ini terkenal dengan sebutan sorogan.Pesantren-pesantren tradisional menggunakan metode sorogan untuk mengaji kitab kuning. Di depan jamaah terpampang black board yang sudah ditulisi dalil-dalil Al-Qur’an dan hadits oleh sang ustadz sebelum mengajar.

Pagi itu, Ustadz Abdurrahim Nur mengkaji ayat tentang perintah menegakkan shalat. Materi ini tampaknya sengaja dipilih, karena pada saat itu di Jawa Timur sedang santer dibicarakan kontroversi shalat dua bahasa yang digagas oleh seorang mantan petinju, Yusman Roy. “Menegakkan shalat itu bukan hanya ketika shalat, tetapi di luar shalat kita harus menjaga sikap sesuai aturan Allah SWT,” ujar Abdurrahim menerangkan.

Pengajian berjalan sangat egaliter. Jamaah bisa bertanya langsung tanpa menunggu uraian selesai. Jika ada jamaah yang ingin menanggapi, Abdurrahim menyilakan untuk tidak segan-segan memberikan bantahan. Ia sangat terbuka menerima pendapat dan masukan dari para muridnya. Jika tak tahu jawaban tentang apa yang ditanyakan, ia berjanji akan memberikan jawaban di lain waktu. Ini menunjukkan sikap tawadhu’nya, untuk tidak merasa serba paling tahu dan sombong.

 

abdurahim_nur
Liputan di Majalah Sabili tahun 2005

Abdurrahim Nur dilahirkan di desa Porong, Jawa Timur pada 17 September 1932. Ia lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Lingkungan desanya pada saat itu adalah pekerja tambak, sebagaimana juga mata pencaharian kedua orangtuanya. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang sangat tradisional. Pagi ia diajak orangtuanya ke tambak, malam hari mengaji Al-Qur’an. Jika tak mengaji, Abdurrahim kecil kerap dimarahi orangtuanya. Tempaan sejak kecil inilah yang membuatnya terus tertarik untuk mendalami agama.

Abdurrahim kecil pernah belajar Al-Qur’an di Pondok Pesantren Tirmidzi, Porong. Untuk belajar ke sana, Abdurrahim harus berjalan kaki puluhan kilo meter. Ia berangkat seusai shalat ashar, dan baru tiba saat masuk waktu maghrib. Di pesantren ini ia tak hanya belajar mengaji Al-Qur’an, tapi juga mendalami ilmu nahwu dan sharaf yang diajarkan kiayi Manshur, pimpinan pondok tersebut.

Selepas dari Ibtidaiyah dan Tsanawiyah, ia melanjutkan mondok di Pesantren Darul Ulum, Peterongan, Jombang. Di pesantren ini Abdurrahim tidak sempat menyelesaikan pendidikan tingkat aliyahnya. Saat itu tahun 1948, di Jawa Timur sedang berkecamuk agresi militer kedua Belanda. Suasana ini membuat kondisi belajar mengajar di Jawa Timur terhenti. Para santri turut berjuang bersama arek-arek Suroboyo untuk mengusir penjajah. Dengan susah payah, saat itu Abdurrahim harus pulang berjalan kaki dari Jombang menuju tempat tinggalnya di Porong.

 

Kegiatan belajar Abdurrahim sempat terhenti selama dua tahun. Pada saat itu ia mengisi kegiatan dengan berdagang bersama teman-temannya. Namun semangatnya untuk terus menimba ilmu tidak pernah surut. Saat ada informasi sekolah di Pesantren Persis Bangil tahun 1950, ia segera mendaftarkan diri bersama temannya yang dulu nyantri di Jombang.

Abdurrahim mulai memasuki kehidupan barunya selama menimba ilmu di Bangil. Mesti berlatarbelakang NU, ia tak mengalami kesulitan beradaptasi dengan lingkungan Persis, yang saat itu terkenal tegas dalam memberantas bid’ah, takhayul, dan khurafat. Persis Bangil saat itu masih dipimpin oleh Allahyarham Ustadz A. Hassan. “Waktu itu penilaian terhadap Persis masih sangat ekstrem,”tuturnya.

Pada perjalanan selanjutnya, Persis begitu memberi pengaruh terhadap pemikirannya. Saat di Persis, Abdurrahim dikenal sebagai santri yang cerdas. Ustadz Abdul Qadir Hassan, putra A. Hassan, kerap memuji dirinya karena kecerdasan dan kegigihannya dalam menimba ilmu. Tak hanya itu, Ustadz Qadir juga kagum dengan keuletannya dalam berdakwah. Selama nyantri di Bangil, kegiatan dakwah Abdurrahim tak pernah berhenti. Ia salah seorang santri yang mendapat keistimewaan untuk bisa nyambi berdakwah di luar selepas jam pelajaran sekolah. Usai jam pelajaran, ia pamit ke luar untuk berdakwah ke beberapa daerah di Pandaan, Porong, hingga ke pelosok-pelosok desa.

Ustadz Abdul Qadir begitu menyayangi Abdurrahim. Ia merasa, Abdurrahim adalah murid yang mampu mengamalkan apa yang diajarkan di Persis dalam dakwahnya. Saat itu Persis dikenal sebagai harakah tajdid (gerakan pembaru). Tak heran, sangat sulit bagi Abdurrahim untuk memberikan pengajaran sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah di tengah kondisi masyarakat saat itu yang masih berpegang kuat pada tradisi.

Saat menjadi santri di Persis Bangil, Abdurrahim masih tercatat sebagai Ketua GP Ansor Jawa Timur. Pilihannya masuk ke Persis membuatnya dikucilkan dari lingkungannya di organisasi kepemudaan NU tersebut. Ujungnya, Abdurrahim memilih untuk mengundurkan diri dari jabatan itu. Ia merasa keberadaanya di GP Ansor untuk berdakwah, dan keluarnya ia dari organisasi itu juga untuk dakwah.

Kecerdasan Abdurrahim sampat ke telinga Mohammad Natsir, tokoh Masjumi yang juga sahabat karib Ustadz Abdul Qadir Hassan. Natsir yang saat itu mendapat penawaran dari pemerintah Gamal Abdul Naser untuk mengirim pelajar-pelajar muslim dari Indonesia untuk belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, kemudian memilih Abdurrahim dan beberapa santri Persis Bangil lainnya untuk dikirim menimba ilmu di universitas tertua di dunia tersebut. Dengan demikian, tahun 1955 Abdurrahim berangkat untuk melanjutkan studi tingkat sarjananya di Mesir atas biaya Mu’tamar Al-Alam Al-Islami (MAI). Saat itu, ia dan kawan-kawannya termasuk rombongan pertama pelajar Indonesia yang dikirim Natsir untuk studi ke Mesir.

Di Al-Azhar, Abdurrahim memilih fakultas Ushuluddin dan mengambil konsentrasi belajar dalam bidang tafsir hadits. Semasa kuliah, ia juga diangkat menjadi guru tetap pada sekolah Indonesia di Mesir. Abdurrahim menyelesaikan masa studinya di Kairo pada tahun 1963 dan mendapat gelar licenceI (Lc).

Kepulangan Abdurrahim dari Kairo menjadi kabar yang menggembirakan bagi Ustadz Qadir dan para santri Persis Bangil. Acara meriah pun digelar untuk menyambut kedatangannya. Untuk beberapa tahun, ia didaulat oleh Ustadz Qadir untuk mengajar di pesantren tersebut. Sebelumnya, Abdurrahim sempat ditawari oleh Natsir untuk berkiprah di Jakarta. Namun, dengan alasan ia harus mengabdi di kampung halamannya, tawaran tersebut ditolaknya secara halus.

Nama Abdurrahim kian tersohor. Ia kemudian menjadi kepala sekolah PGA Muhammadiyah, Porong. Selanjutnya, Abdurrahim ditawari oleh Prof Syafi’i Karim untuk menyalurkan ilmunya di IAIN Sunan Ampel, Surabaya. Karirnya di IAIN sempat mengantarkannya menjadi dekan fakultas Ushuluddin pada tahun 1975 sampai tahun 1979. Pada masa selanjutnya, ia juga dipilih sebagai salah seorang ketua MUI Jawa Timur.

Kemampuannya dalam membina umat juga mengantarkan Abdurrahim duduk di pucuk pimpinan wilayah Muhammadiyah Jawa Timur selama tiga periode berturut-turut dari tahun 1987 sampai tahun 2000. Kepemimpinannya di Muhammadiyah mampu menjembatani segala perbedaan yang ada di jam’iyah tersebut. Di kalangan NU, ia dikenal sebagai sosok yang bersahabat dan bisa menjalin kerjasama. Sikapnya bahkan sempat disamakan dengan sosok Natsir yang mampu menjadi perekat dan pemersatu umat.

Di lingkungan Muhammadiyah, Abdurrahim Nur sangat disegani. Nasihat-nasihatnya sering dijadikan rujukan. Ia termasuk tokoh tua Muhammadiyah yang dijadikan tempat berkonsultasi jika ada kemelut dalam tubuh organisasi tersebut. Mantan ketua PP Muhammadiyah, Prof. Amien Rais, termasuk orang yang menjalin hubungan erat dengannya. “Ia sahabat, sekaligus guru bagi saya,” kata Amien Rais.

Di usianya yang senja, Abdurrahim masih terus giat berdakwah. Usia tak menghalanginya untuk terus membina umat, termasuk aktivitasnya mengasuh puluhan anak yatim di tempat tinggalnya. Hari-harinya disibukkan juga dengan mengurus pengajian Fajar Shadiq, pengajian Ahad pagi yang sangat terkenal di Jawa Timur, yang dihadiri ratusan orang setiap acaranya.

Meski dikenal moderat, Abdurrahim sesungguhnya sangat tegas dalam soal akidah. “Kalau berdebat soal agama, ia sangat argumentatif dan tegas, tapi tetap dengan gaya penyampaian yang lembut,” ujar Prof. A Syafiq Mughni, tokoh Muhammadiyah yang pernah menjadi murid Abdurrahim waktu di Bangil. (Artawijaya)

 

*pernah dimuat di Majalah Sabili pada Juni 2005 M/Jumadal Awal 1426 H

Buya Hamka: Pejuang Akidah Hingga Akhir Hayat

Siapakah ulama itu? Ulama adalah figur yang tidak bergantung ke atas tetapi berurat ke bawah. Ia adalah orang yang bersedia hidup di tengah-tengah umat. Ia tidak pernah mengeluh, tetapi tidak pernah menutup telinganya mendengar keluhan umat. Adakah kriteria tersebut pada Buya Hamka?

Suatu hari di rumahnya yang asri di bilangan Raden Fatah, Jakarta Selatan, Buya Hamka kedatangan sepasang muda-mudi. Seperti kebanyakan tamu Hamka lainnya yang datang meminta nasihat dan mengeluh soal kehidupan sehari-hari, sepasang anak muda ini pun mendatangi Hamka untuk hal yang sama. Tapi tak hanya meminta nasihat, sang gadis yang diketahui sebagai anak dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer, meminta Hamka untuk mengislamkan kekasihnya. Rencananya, sepasang kekasih ini akan menikah dengan syarat sang pria memeluk agama Islam.

Meski tahu yang datang adalah anak Pramodeya Ananta Toer, mantan pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi underbouw PKI yang menuduh Hamka dengan karya “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sebagai plagiat, namun Hamka tetap memperlakukan sepasang muda-mudi itu seperti tamu lainnya. Sambil menanyakan kabar Pram, Hamka menyambut keduanya dengan hangat.

Hamka kemudian mengajarkan dasar-dasar Islam kepada sang pemuda. Setelah selesai dan sepasang muda-mudi itu pamit, Hamka menitipkan salam untuk sang ayah, Pramoedya. Sang gadis, anak Pram itu, kemudian menangis. Ia tidak menyangka akan menerima pelayanan yang hangat dari seorang tua yang pernah dicaci maki oleh ayahnya. Wajah Hamka pun terlihat terharu, air mata jatuh merintik.

Rusydi, putra Hamka yang dari awal menyaksikan pertemuan itu kemudian berujar, “lupakah ayah siapa Pramoedya itu?”

“Tidak,” jawabnya, “Betapapun dia mencaci kita, kita tak berhak menghukumnya. Allah lah yang Maha Adil. Dan dia pun telah menjalani hukumannya dari penguasa di negeri kita ini,” ujar Hamka lirih.

Sejak tinggal di Jakarta, Buya Hamka seperti menjadi oase di tengah Metropolitan. Beragam orang, dengan beragam persoalan, datang ke rumah ulama itu. Ada yang datang untuk sekadar berkeluh kesah menumpahkan persoalan, meminta taushiyah karena masalah rumah tangga, bahkan meminta derma karena kesulitan ekonomi yang melilit. Semuanya diterima Hamka dengan ikhlas dan lapang dada.

Mereka yang datang, dianggapnya sebagai anak. Tak jarang, karena persoalan yang begitu pelik dari orang yang mengadu kepadanya, Hamka bersedia memberi “suaka” kepada orang itu untuk tinggal di rumahnya. Kasus ini pernah menimpa seorang perempuan yang mengadu kepada Hamka soal suaminya yang murtad, kembali ke agama sebelumnya, Kristen. Tak hanya itu, sang suami juga berusaha merebut anaknya untuk dikristenkan. Saat suami dari perempuan itu datang menyatroni rumah Hamka dan berusaha merebut anaknya, Hamka dengan tegas mengusirnya.

Sebagai ulama, Hamka benar-benar berurat ke bawah, bersedia hidup di tengah-tengah jamaah, dan menjadi sosok panutan tempat umat memulangkan segala persoalan. Rusydi mengibaratkan Hamka tak ubahnya seperti “dokter praktik”, di mana pasien selalu datang mengantri. Sosok ulama yang kini langka di tengah umat.

* * *

Masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dimanfaatkan para misionaris Kristen untuk menyebarkan agamanya. Hal ini tak luput dari perhatian Buya Hamka.Di berbagai kesempatan khutbahnya, ulama asal Maninjau ini tegas menentang keras Kristenisasi.”Modernisasi bukan berarti westernisasi dan bukan pula Kristenisasi,”tegasnya. Di Masjid Agung Al Azhar, bila tiba gilirannya berkhutbah, dengan suara lantang dan penuh semangat, Hamka mengingatkan kepada jamaah akan bahayanya zending Kristen.

“Kristen lebih berbahaya dari Komunis,” ujarnya sambil menerangkan masa kekejaman inkuisisi saat Kristen merebut kekuasaan Islam di Andalusia.

Ketegasan Hamka soal bahaya Kristenisasi tak hanya disampaikan di depan para jamaah umat Islam, tapi juga dihadapan penguasa. Pada hari raya Idul Fitri 1969, Hamka diminta untuk mengisi khutbah Idul Fitri di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Negara. Di hadapan Presiden Soeharto dan pejabat negara lainnya, Hamka yang memang prihatin dengan aksi misionaris Kristen yang mulai merasahkan umat Islam, menerangkan tema soal toleransi dan Kristenisasi.

“Tapi kalau ada usaha orang supaya kita berlapang dada, jangan fanatik, lalu tukarlah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tuhan yang maha tiga, atau berlapang dadalah dengan mengatakan bahwa Nabi kita adalah nabi palsu dan perampok di padang pasir atau kepercayaan kita kepada empat kitab suci, Taurat, Zabur, Injil, dan al Qur’an, lalu disuruh berlapang dada dengan mendustakan al Qur’an, maaf, seribu kali maaf dalam hal ini kita tidak ada toleransi!” demikian khutbah Buya Hamka dihadapan para pejabat Orde Baru.

***

26 Juli 1975. Buya Hamka dilantik menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai organisasi bentukan penguasa, Hamka tahu betul, posisinya akan terus disorot oleh umat. Karena itu, saat pertama kali diminta untuk menduduki posisi itu, Hamka dengan tegas menolak pemberian gaji dan dana pensiun. Hamka mengibaratkan posisinya seperti kue bika, yang dibakar di antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.

Penguasa saat itu berharap ia akan menjadi jembatan antara umat dan penguasa. Sementara umat masih berharap, meski dirinya makin dekat dengan penguasa, namun ketegasannya sebagai ulama tetap dipertahankan. Terutama soal kristenisasi, isu yang sangat kuat pada masa-masa Orde Baru. Sebagai “kue bika”, Hamka dengan tegas mengatakan,”Berat ke atas niscaya putus dari bawah. Kalau putus dari bawah niscaya berhenti jadi ulama yang didukung umat.”

Selama menjabat sebagai Ketua MUI, berkali-kali Hamka merasa resah oleh kedua bara panas yang menjepitnya. Jika resah itu datang, ulama yang berjalan dengan topangan tongkat kayu itu menumpahkan perasaannya pada Sang Pencipta.Di bacanya al-Qur’an hingga berhari-hari sampai wajahnya kembali terlihat cerah. Ia begitu menyangi umat, tapi ingin juga membantu pemerintah, tanpa menjilatnya.

***

Bara dari atas kian hari kian panas. Dalam posisi yang semakin hangus, Hamka akhirnya merapat ke bawah. Ketegasannya dalam hal akidah berujung pada pengundurannya sebagai ketua MUI. Peristiwa ini bermula saat Hamka dengan tegas menyatakan Haram bagi semua umat Islam untuk ikut dalam acara Natal Bersama. Pernyataan itu ia sampaikan dalam setiap khutbah dan fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia.

Pada khutbah Jumat di Masjid Al Azhar, dengan lantang Hamka mengingatkan bahwa haram hukumnya, bahkan kafir, jika umat Islam mengikuti perayaan Natal Bersama. Perayaan Natal, kata Hamka, adalah akidah orang Kristen. Jika ada orang Islam turut menghadirinya, maka musyriklah ia, tegas Hamka. “Katakan kepada kawan-kawan yang tidak hadir di sini, itulah akidah kita!”

Buya Hamka- Soeharto
Buya Hamka dan Soeharto

Karena kuatnya tekanan dari atas untuk mencabut fatwa itu, Hamka akhirnya memilih meletakkan jabatannya. Ia, yang sejak keluarnya fatwa haram merayakan Natal Bersama kerap terlihat merenung, memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua MUI pada 18 Mei 1981. Meski begitu, dalam pernyataan pribadinya, Hamka menyatakan bertanggungjawab terhadap fatwa tersebut. Ia juga mengatakan, melarang peredaran fatwa itu adalah hak pemerintah, karena mereka berkuasa. Tapi kekuatan fatwa itu tak akan luntur, berlaku sepanjang masa.

Setelah mundur dari jabatan sebagai Ketua MUI, beragam ucapan selamat meluncur ke rumahnya. Kepada sahabatnya, M Yunan Nasution, Hamka yang saat itu mulai ringkih, berujar ringan, “Waktu saya diangkat dulu tak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat mengucapkan selamat.”

Hari Jumat, 24 Juli 1981, dua bulan setelah mengundurkan diri dari ketua MUI, Buya Hamka berpulang ke rahmatullah. Ia wafat dalam usia 73 tahun 5 bulan. Disaksikan sahabatnya, Mohammad Natsir, sosok ulama pejuang itu menghebuskan nafas terakhirnya. Karena kegigihannya dalam menjaga akidah, Buya Hamka begitu mendapat tempat di hati umat. Ia wafat dalam keadaan memegang teguh dan menjaga akidah umat. Meski benteng kekuasaan menghalanginya. (Artawijaya)

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sabili edisi khusus Seabad Buya Hamka, thn 2008)

Untukmu yang Akan Menikah…

Sahabat…

Aku tulis surat ini sebagai renungan jelang hari pernikahanmu. Sekaligus juga sebagai taushiyah  dalam mengarungi bahtera rumah tangga kita semua…

Sahabat…

Asas pernikahan adalah ketakwaan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pernikahan adalah menyatunya dua insan untuk bersama-sama dalam suka dan duka, senang dan gembira, lapang dan sempit, untuk selalu bersabar dalam ketaatan kepada Allah, Rabb yang menggenggam takdir kehidupan kita.

Bersabar dalam peliknya hidup dan menjaga ketaatan dalam setiap keadaan, inilah yang menjadi kunci  dalam mengarungi kehidupan rumah tangga. Semua pasti mengalami pasang surut kehidupan. Kadang susah, kadang gembira. Kadang lapang, kadang sempit. Kadang berlimpah rezeki, kadang tak ada sama sekali. Itulah hidup. Sikapi dengan sabar dan taat. Doa dan usaha. Ikhtiar dan tawakal. Yakinlah, bahwa ketaatan kita kepada Allah akan membuka kelapangan segala urusan…

Gemerlapnya dunia memang menyilaukan. Tapi, jangan kau terpesona. Letakkan dunia di telapak tanganmu untuk kau genggam, kau taklukkan. Jangan kau letakkan dunia di hatimu. Bersabarlah dalam barisan orang-orang yang bertakwa, sebagaimana perintah-Nya dalam Al-Qur’an yang mulia, “Dan bersabarlah kamu bersama-sama dengan orang-orang yang kepada Tuhannya di pagi dan senja hari; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan dunia ini; dan janganlah hatimu mengikuti orang-orang yang telah kami lalaikan dari mengingat Kami dan menuruti hawa nafsunya. Dan sesungguhnya urusan mereka itu melampaui batas.” (Al-Kahfi:28).

Sahabat…

Menikah adalah upaya seorang Muslim untuk menjaga kehormatannya, menghalalkannya kepada yang benar-benar halal dan berhak. Menjaga kesuciannya dalam ikatan pernikahan yang sakral. Sebuah ikatan suci yang Allah sebut sebagai mitsaqan ghaliza, perjanjian yang agung antara dua orang insan untuk mengarungi kehidupan dalam ketaatan. Akad yang ditorehkan saat ijab kabul adalah perjanjian suci yang harus dijaga, dirawat, dan dibina dalam asas iman dan ketakwaan.
Mereka yang menjaga kehormatannya dengan menikah dan memancangkan niat untuk beribadah, tak akan pernah Allah sia-siakan usahanya. Menikah akan membuat kita kaya. Menikah akan membuat kita memahami betapa kita tak bisa hidup sendiri. Kita butuh orang-orang terkasih untuk melangkah. Kita butuh orang-orang tersayang untuk memberikan semangat ketika rapuh dan patah. Kita butuh vitamin dan nutrisi cinta…

Sahabat…

Lelaki mulia adalah orang yang mampu memuliakan wanita. Perempuan mulia adalah perempuan yang mampu menjaga kehormatan suaminya. Betapa mulianya Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam , ketika ia mengatakan dalam sabdanya, “Sebaik-baik kamu adalah yang melakukan hal terbaik bagi keluargamu. Dan aku (Nabi saw) adalah orang terbaik bagi keluargaku. Dan tidaklah memuliakan wanita, kecuali orang yang mulia dan tidaklah menghinakannya kecuali orang yang hina.”(HR. Ibnu Majah dan Al-Bazzar).

Dalam haditsnya yang lain, baginda Rasulullah mengatakan, “Aku wasiatkan kepadamu untuk berbuat baik bagi wanita. Kalian mengambilnya (menjadikannya istri) dengan amanah Allah, dan menghalalkan kemaluannya dengan kalimat Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Beliau juga berwasiat kepada kita untuk mendidik istri kita dalam ketakwaan, meluruskannya dengan kasih sayang. Memberikan kecukupan dalam kebutuhannya sehari-hari dan memberikan pakaian yang pantas baginya. “Taqwalah kalian kepada Allah dalam mengurus wanita, sebab dia ada dalam penjagaanmu. Kamu peringatkan kepadanya agar jangan ada orang lain yang kamu tidak suka duduk di atas hamparanmu. Kalau dia langgar aturanmu, boleh kamu pukul dia, tapi jangan sampai melukai. Dan hendaklah kamu cukupkan belanjanya, dan pakainnya dengan pantas.” (HR. Muslim)

 

Sahabat…

Pernikahan yang tidak dibangun dengan fondasi keimanan akan berakhir dengan kehinaan. Pernikahan sejatinya adalah ujian dari Allah bagi sepasang suami istri, ujian untuk melihat apakah mereka masih setia taat kepada Allah, ataukah ia terjerumus dalam gemerlapnya dunia. Rumah tangga yang bahagia tidak dibangun dengan fondasi harta yang melimpah, melainkan dengan dasar iman dan takwa.

Sahabat…

Istri dan anak-anak kita adalah pewaris kita kelak. Penerus cita-cita kita di masa depan. Kalau sekadar harta yang kita wariskan, ia akan punah dan musnah. Kalau sekadar pangkat dan kedudukan yang kita bangga-banggakan, ia akan sirna. Kita harus mewariskan ketakwaan, mewariskan keteladanan, dan menjaga agar anak dan keturunan kita tetap setia bersabar dalam barisan Islam, hingga akhir zaman. Sebagaimana doa Nabi Ibrahim Alaihissalam dalam munajatnya, “Ya Allah, jadikanlah aku dan anak-anak keturunanku orang-orang yang senantiasa mendirikan shalat, Ya Rabb kami terimalah doa kami…” (Ibrahim:41).

Ya Allah, kami yang fakir, hamba-Mu yang tiada daya dan upaya, memohon kepada-Mu…

Allahumma shalli ‘ala Muhammad, wa ‘ala alihi wa ashabihi ajma’in…

“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh.” (Ash-Shaffat:100)

“Ya Rabbku, anugerahkanlah kepadaku dari sisi-Mu anak keturunan yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa…”(Ali Imran: 38)

Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami, dari istri-istri kami dan anak keturunan kami sebagai penyejuk mata kami dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Al-Furqan:74)

Sahabat,

Semoga bahtera rumah tangga kita selalu berada dalam navigasi-Nya. Semoga biduk yang kita kayuh selalu berada dalam arus-Nya. Di mana layar terkembang, di sana pasti ada gelombang. Bersabarlah, dan tetap dalam ketaatan.

Akhukum fillah

Arta Abu Azzam

Kisah Wawancara dengan Dosen Liberal dari IAIN

Surabaya, 9 Mei 2006. Maksud hati meliput acara kegiatan kampanye pluralisme agama di IAIN Sunan Ampel (sekarang UIN Sunan Ampel), saya justru mendapatkan laporan dari seorang mahasiswa yang mengatakan bahwa beberapa hari lalu ada kasus seorang dosen yang “menginjak-injak lafazh Allah” di dalam kelas. Menurut penuturan mahasiswa tersebut, para mahasiswa yang ada di ruangan kelas tersentak kaget. Sebagian bahkan ada yang memprotes keras, sementara beberapa mahasiswi terlihat menangis shock. Saya kemudian berusaha mencari tahu keberadaan dosen tersebut, lalu berhasil mewawancarai di ruangan dosen. Laporan saya tersebut kemudian menjadi headline di Majalah Sabili. Selain Sabili, Majalah Gatra juga memuat laporan utama tentang kasus tersebut. Pasca pemberitaan media, banyak umat Islam yang marah. Beberapa orang menelepon kantor redaksi Sabili, meminta alamat dosen tersebut. Diantara yang menelepon mengaku berasal dari FPI Jawa Timur dan PWNU Jatim. Saya tak memberi alamat rumahnya, karena tak tahu. Tak lama kemudian, setelah isu tersebut ramai di media massa, sang dosen diskor oleh Departemen Agama selama enam bulan untuk tidak mengajar di lingkungan IAIN. Sang dosen yang tadinya merasa gagah dan bangga dengan jawaban-jawaban yang saya tanyakan, tiba-tiba seperti ketakutan dan merasa bersalah. Ia mengirim surat ke redaksi meminta agar wawacara tersebut dicabut. Permintaan tersebut tentu saja tidak bisa dikabulkan, karena majalah sudah terbit lebih dahulu. Lagi pula, tak ada permintaan off the record ketika wawancara. Di samping itu, saat wawancara berlangsung, dengan gagahnya ia melontarkan ide-ide liberalnya. Akhirnya ia menulis surat pembaca yang menjelaskan tentang peristiwa itu. Silakan Anda baca transkrip wawancara saya dengan dosen filsafat tersebut. Tak ada yang saya tambah atau kurangi atau diedit, ini hasil transkip murni. Transkrip ini pernah dimuat di Majalah Sabili, namun tidak lengkap seperti di bawah ini. Nama sang dosen sengaja saya tidak tulis di sini, karena selain ia sudah mendapat hukuman, juga sudah pernah dimuat di edisi Majalah Sabili pada tahun 2006 lalu. Berikut wawancaranya:

Soal fenomena paham SEPILIS (Sekularisme, Pluralisme, Liberalisme) di kampus IAIN, bagaimana tanggapan Anda?

IAIN itu kan institut. Ketika bicara institut maka itu bicara tentang keilmuan. Kalau agama Islam, itu artinya keilmuan Islam. Jadi IAIN itu berbeda dengan pesantren. Kalau pesantren itu keilmuan plus amaliah. Karena itu suasana keislaman itu hidup. Di IAIN nggak, yang hidup itu ilmunya. Jadi kalau Anda menemukan di IAIN itu ada yang tidak Islami, itu memang bukan amaliahnya, tapi keilmuannya.

Artinya hanya sekadar wacana, bukan praktis?

Ya, hanya sekadar wacana. Wacana itu kan singkatan dari wawasan pasca sarjana. Maka namanya wacana. Jadi wacana itu wawasan pasca sarjana. Jadi para doktor, para magister ngomong-ngomong itu namanya wacana.
IAIN dituding sarang SEPILIS?

Saya memahami pemikiran Nurcholis Madjid soal sekularisasi dan sekularisme. Kita ini sesungguhnya sekuler, iya, sekuler. Artinya apa, ketika kita…kita membedakan dimana aspek agama dan tidak. Saya beri contoh di Kampung, ada bahasa Arab yang namanya infaq, ada bahasa Jawa yang namanya iuran. Itu kan soal bahasa saja, hakikatnya sama. Tapi ketika iuran di kampung dikatakan infaq, masyarakat berat. Iuran, ya iuran, infaq ya..infaq. Itu sekuler. Cuma itu disadari atau tidak. Begitu juga di IAIN, sekuler! Ilmu, ilmu. Misalnya hal yang kecil saja, kita mengurus hal kepangkatan, pengalaman saya pribadi, kita sering melanggar norma, karena apa? Ini kan masalah duniawi, pangkat, sekuler! Tapi itu kan tidak semua orang bisa menerima dikatakan begitu. Jadi kalau Nurcholis Madjid mengajarkan soal sekularisme-sekularisasi, itu betul. Dia berbicara berdasarkan fakta.

Jadi menanggapi orang yang mengatakan bahwa SEPILIS di IAIN sangat berbahaya, gimana?

Waduh.. saya nggak bisa memberikan jawaban. Menurut saya tidak hanya di IAIN, tapi menyeluruh. Di organisasi sosial keagamaan juga begitu. Seperti organisasi NU, Muhammadiyah, itu sekularisasi berjalan. IAIN Sunan Ampel ini geraknya terlalu lambat. Mestinya kita sudah jadi UIN. Karena itu saya guyon sama rektor, dulu SBY datang ke Bandung meresmikan UIN Bandung. Kapan SBY datang ke Surabaya untuk meng-UIN kan IAIN? Kenapa Surabaya tidak menjadi UIN? Mungkin konteksnya takut dibilang sekular tadi, sehingga ilmu-ilmu keislaman hilang. Kalau dia jadi universitas akan kehilangan.

Anda setuju untuk dijadikan UIN?

UIN! Tantangan zaman, sudah waktunya.

Ada kekhawatiran ketika menjadi UIN, ciri khas keislamannya bergeser?

Saya kira tidak. Kembalikan kepada misi Muhammad itu rahmatan lil ‘alamin, rahmat sekalian alam. Lalu kita kembalikan lagi kepada asmaul husna. Di asmaul husna itu ada al-‘Alim artinya Maha Tahu. Maha Tahu itu apa? Penguasa semua ilmu. Jadi semua ilmu itu milik Tuhan. Bukan hanya ilmu keislaman milik Tuhan, semua ilmu milik Tuhan. Kalau kita memahami semua ilmu milik Tuhan, dan membawa misi Tuhan, maka mestinya IAIN harus jadi UIN, dengan tidak perlu khawatir menjadi sekular. Sebab ilmu itu ilmu Tuhan. Cuma kita bedanya akan menggunakan standar kebenaran ilmu itu Qur’an. Selama cocok dengan Qur’an, benar. Saya pada prinsipnya standarnya itu Qur’an. Jadi memang perlu ada satu ijtihad, penyempurnaan tentang hasil pendapat para ulama-ulama dulu. Misalnya fiqh, fiqh itu mesti disempurnakan, ditambah, sehingga khazanahnya makin bertambah. Saya sangat mendukung lahirnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan mazhab dalam Islam. Selama ini kan yang popular empat mazhab, Syafi’i, Maliki, Hanafi, Hambali. Kalau ada mazhab ****** (ia menyebut namanya, red), kenapa tidak? Hahaha… Saya pribadi sering mengatakan bahwa saya Islam, tapi sesungguhnya yang saya lakukan non Islam, ketika itu keluar dari garis-garis Islam. Misalnya, saya mau naik pangkat dengan syarat membuat penelitian, terus penelitiaan itu saya suruh orang untuk bikin, itu menurut saya tidak Islami Saya melihat begini, ada ayat al-Qur’an yang mengatakan, “Annal ardha yaritsuha min ibadiya shalihin” sesungguhnya bumi ini akan diwarisi kepada hamba-hambaku yang shaleh. Nah, selama ini pemahaman shaleh kan orang Islam. Kita melihat secara global, Amerika itu polisi dunia, artinya apa? Ayat ini menunjukan, Amerika ini yang shaleh. Iya! Karena itu saya mendengar beberapa orang teman yang sekolah di Amerika mengatakan, Amerika itu Islami, tapi mereka bukan orang Islam. Di Indonesia yang mayoritas Islam, dalam banyak hal banyak yang tidak Islami. Jadi maksud saya, kita kadang-kadang secara formal kawin sesama Islam, tetapi sesungguhnya tidak Islam.

Ada yang menginginkan IAIN menjadi pusat pendidikan inklusif. Menurut Anda?

Saya kira bagus. Islam rahmatan lil alamin itu kan Islam yang menjawab tantangan zaman. Sekarang IAIN itu tidak menjawab tantangan zaman, hanya meneruskan sejarah masa lalu. Kehadiran IAIN sejarahnya karena ada Depag, Depag itu butuh karyawan. Maka didirikan lembaga pendidikan Islam seperti IAIN. Sekarang tantangannya sudah berbeda.

Anda setuju jika ada yang mengatakan ayat-ayat al-Qur’an perlu ditafsir ulang dengan melihat konteks sosiologis dan sebagainya?

Saya cenderung mengatakannya penambahan penafsiran. Misalnya ada penafsiran soal Ibnu Sabil. Selama ini kan diartikan orang yang berada di jalan Allah, itu Ibnu Sabil. Itu perlu ditambah, kita tambah dengan anjal, anak jalanan. Itu Ibnu Sabil, mereka punya hak dalam zakat. Kalau kita pahami bahwa Qur’an itu hudan linnas, itu kan tidak dibatasi, annas zaman Nabi, dan annas zaman sekarang. Tantangan zaman Nabi dan tantangan sekarang berbeda. Karena itu pendapat para fuqaha perlu ditambah, mungkin sudah tidak cocok lagi.

Soal jilbab?

Itu kan menyangkut budaya, jilbab itu budaya. Itu satu budaya. Pandangan masyarakat Arab dengan kita berbeda. Orang Arab kalau lihat rambut misalnya, lihat rambut aja sudah menimbulkan syahwat. Tapi di masyarakat kita itu hal yang biasa.

Anda setuju seandainya ada tuntutan mahasiswa yang menginginkan penghapusan kewajiban jilbab di IAIN?

Maksud saya begini, kalau berjilbab itu lebih bagus. Kalau berjilbab nggak apa-apa. Kalau ada yang ingin menghapus jilbab di IAIN, ya jangan, jangan kontroversi begitu. Cuma kalo ada yang mau jilbab, ya silahkan jilbab, kalo yang nggak, ya monggo tidak. Soal jilbab, saya melihat soal kualitas keimanan.

IAIN2
Kampus UIN Surabaya

Jadi soal jilbab Anda berpendapat tidak wajib?

Ya, memang kebudayaan. Jilbab itu kan kebudayaan. Karena merupakan budaya maka bentuknya banyak, ragamnya banyak. Jilbab Arab dengan Indonesia itu beda. Misalnya jilbab Arab itu kan kelihatan mata tok, tapi Indonesia kan nggak. Jadi kalau ada gerakan formalisasi syariat Islam, saya tidak sepakat. Kita lebih baik negara kita Pancasila, tapi substansi masukan ajaran Islam. Jadi bagaimana substansinya yang Islami.

Kabarnya Anda menginjak-injak lafadz Allah di kelas?
Saya konteksnya dalam masalah akademis. Saya memberikan pemahaman kepada mahasiswa, apa itu kebudayaan. Jadi kebudayaan itu hasil cipta karsa manusia. Saya katakan tulisan Allah, alif laam, laam, haa, itu budaya. Kalau di latinkan A A L L A H, itu budaya. Kemudian saya tulis di kertas dengan tulisan lafadz Allah. Saya ingin memberikan pemahaman kepada mahasiswa, ini bukan Allah. Jangan di dewakan. Untuk apa? Supaya tidak syirik! Itu maksud saya. Kita ini sering syirik. Saya melihat di festifal Istiqlal, tulisan al-Qur’an zaman Nabi itu nggak bisa kita baca. Jadi tulisan Allah versi Allah itu kayak apa. Kalau versinya alif, baa, ta, tsa, ini budaya. Lalu kemudian melahirkan tulisan Allah, ini budaya, ini bukan Allah. Saya memberikan pemahaman kepada mahasiswa supaya tidak syirik. Karena itu, ketika saya demo menginjak ini (lafadz Allah) harus dilihat niatnya. Kalau niatnya pelecehan, harus dibunuh. Saya niat saya, keilmuan. Memberikan pemahaman kepada mahasiswa jangan syirik. Saya demonstrasi tulisan Allah saya injak, sesungguhnya dimasyarakat itu di mana-mana menginjak-injak al-qur’an. Qur’an menyuruh shalat, tapi tidak shalat. Ini menginjak-injak al-Qur’an. Orang kaya diwajibkan zakat, tapi tidak zakat. Ini menginjak-injak al-Qur’an. Lebih berbahaya mana yang seperti itu dengan saya demo di kelas dengan memberikan suatu pemahaman agar tidak syirik. Jadi sebetulnya penginjak-injakkan al-Qur’an secara metafisik sudah terjadi di masyarakat. Tapi kenapa ketika saya menulis lafadz Allah, terus saya injak kemudian dipersoalkan? Dewa (Band Dewa 19, red) dipersoalkan. Padahal dimana-mana terjadi penginjak-injakan terhadap al-Qur’an. Front pembela Islam itu bagus, amar makruf nahyi munkar.. Tapi ada yang saya tidak sependapat, misalnya anarkis. Ini mengotori perjuangan Islam. Jadi mereka ingin berjuang menegakan kebenaran Islam, tapi pada titik-titik tertentu ada setting dia ‘meginjak-injak’ al-Qur’an. Misalnya soal Playboy, anarkis, lho itu menginjak-injak al-Qur’an.

Lafadz Allah itu kan sangat mulia, sehingga tidak pantas diinjak-injak?

Ya, silahkan saja. Itu kan pendapat, bukan Allah yang ngomong.

Anda juga katakan, kalau menginjak ini (lafadz Allah) sama saja menginjak bumi atau rumput yang juga makhluk?

Betul…betul.. saya ngomong begitu. Saya katakan, ini tulisan Allah kan saya yang nulis, alif, laam,laam, haa, (ini) karya manusia. Kalau saya injak, saya menginjak ciptaan Tuhan, itu nggak apa-apa. Contohnya rumput, nggak ada yang bisa ciptakan rumput, itu ciptaan Tuhan, saya injak-injak nggak apa-apa. Cuma saya katakan pada mahasiswa, saya Cuma berani begini (menginjak-injak lafadz Allah, red) di kelas. Ini akademis, saya bicara tentang keilmuan, tujuan saya agar mahasiswa tidak syirik. Sebab syirik kita ini banyak.

Ada yang berpendapat, Anda melakukan seperti itu sudah murtad?

Ya, silahkan saja dia berpendapat begitu. Murtad atau tidak, sesat atau tidak itu kan yang tahu Tuhan. Karena itu saya tidak sepakat dengan istilah aliran-aliran sesat. Dimana kita mengatakan sesat? Ya, di Hari Akhir. Ketika hari ini saya berbeda pendapat dengan pak Arta, ya sekadar beda pendapat saja. Tahu sesatnya saya atau pak Arta kan setelah di surga (akhirat, red). Baru boleh mengklaim. Kita ini sekarang sedang sama-sama dalam perjalanan. Saya tidak sependapat dengan istilah sesat atau murtad. Saya kalau ada yang mengatakan saya murtad justru enak. Sebab saya guyon sama mahasiswa, kalau seandainya malas shalat zhuhur, kita ngomong, hallo Tuhan saya murtad dari jam sebelas sampe jam empat. Ketika murtad ini kan tidak ada kewajiban untuk shalat. Nah setelah jam empat ya ngomong lagi, Tuhan, saya masuk lagi ke Islam dengan mengucap syahadat.

Kita tahu dulu ada grup band Dewa yang dikecam karena menginjak-injak lafadz Allah…

O, iya..iya.. saya sebetulnya sealiran sama Dewa. Begini, dikampung saya pernah bangun papingisasi (aspal jalan raya, red). Paping itu kan ada yang berwarna. Kita usulkan kepada warga, dipaping itu ditulis lafadz Allah. Maksud saya, jalan itu kan bahasa Arabnya Sabil, kalau disini (di aspal jalan, red) ada tulisan Allah, maka ini namanya Sabilillah.

Ditaruh dibawah jalan?

Lha iya. Sehingga orang yang lewat di jalan ini merasa lewat di jalan Allah. Tapi kan semua warga tidak sependapat dengan pikiran saya.

Bagi Anda melakukan itu nggak masalah?

Bisa saja. Bisa saja.

Apakah Anda juga menganggap al-Qur’an itu makhluk dan tidak apa-apa diinjak?

Kalau kita tahu percetakan, itu al-Qur’an diinjak-injak, dilempar-lempar, dimasukan truk segala macam. Nggak apa-apa. Kalau al-Qur’an yang sudah menumpuk harus ditata dan diinjak, itu nggak apa-apa. Konteksnya kan bukan penghinaan. Kalau tulisan Allah diinjak, terus konteksnya penghinaan, saya juga marah.

Ketika mahasiswa IAIN Bandung mengatakan Anjinghuakbar, mereka juga mengatakan tidak ada niat menghina…tapi itu dipersoalkan. Bagaimana menurut Anda?

Kata-kata Akbar itu tadinya sakral. Allahu Akbar itu sakral sekali. Tapi sekarang sudah tidak. Contohnya tabligh Akbar, masjid Akbar. Jadi hal-hal yang besar itu dikatakan Akbar Jadi kalau ada ucapan anjinghu akbar, itu mungkin ada anjing ukurannya raksasa. Jadi kalau ada anjing lazimnya seukuran kambing, terus ada anjing ukuran sapi, saya setuju disebut anjinghu akbar. Saya juga dengan mahasiswa mengatakan begini, al-Qur’an itu turun di Arab, karena itu tidak lepas dari budaya, alam, lingkungan Arab. Dan bahasanya menjadi Arab. Kalau Nabi dulu itu lahirnya di Solo, maka al-Qur’an itu akan jadi bahasa Jawa. Kalau shalat nantinya bukan Allahu akbar, tapi gusti Allah sing ageng. Begitu kan?

Kalau ada orang yang shalat dua bahasa, sebagaimana kejadian di Malang?

Sah! Tapi jangan diajarkan. Yang tidak boleh diajarkan. Kalau diamalkan sendiri sah. Saya tidak sepakat kalau itu ngajak orang. Jadi shalat dua bahasa nggak masalah, selama nggak diajarkan. Saya sampaikan kepada mahasiswa, maka ada ayat-ayat yang tidak turun, misalnya wattiin, wazzaiitun..wathurisiniina demi pohon tiin, zaitun dan bukit tursina. Itu ayat nggak turun, kalau al-Qur’an turun di Jawa. Kalau di Jawa, kira-kira begini, wal fiiisang, walmangga…walibromo. Demi pohon pisang, pohon mangga dan gunung Bromo. Itu yang akan keluar. Demikian juga tentang gambaran surga, airnya mengalir. Itu karena apa, lingkungan alam Arab yang padang pasir. Kalau Nabi lahir di Tretes, maka ayat itu nggak keluar. Karena apa? Air yang mengalir itu bukan sesuatu yang menakjubkan. Karena itu al-Qur’an turun tidak lepas dari budaya Arab. Al-Qur’an mengatakan likulli ummatin rasuula, ditiap-tiap umat ada rasul dari zaman ke zaman. Nabi menyebut dalam sebuah hadits, jumlah Nabi itu 125 ribu Nabi. Artinya apa, kalau dulu sudah ada manusia di Jawa, maka berarti sudah ada nabi di Jawa. Karena Nabi tidak mengenal Jawa, sehingga Nabi Jawa tidak masuk dalam al-Qur’an. Yang masuk Nabi disekitar Timur Tengah, Nabi di mesir, Nabi di Yaman, sekitar Arab. Di luar itu tidak masuk. Nabi Jawa, nabi Kalimantan, Nabi Madura, tidak masuk. Karena apa? Nabi tidak mengenal pulau Jawa. Nabi itu ada klasifikasi. Saya menyebut ada tiga kelas. Ada nabi local, nabi regional, nabi global. Nabi lokal misalnya nabi Luth, Luth itu Liwath, liwath itu bahasa Arab, bahasa kitanya Gay atau Lesbi, homoseks. Nah, Nabi Luth diutus buat masyarakat liwath ini. Ini namanya nabi lokal. Ada nabi regional, contohnya nabi Isa dan Musa, dia diperuntukan buat Bani Israil. Ada Nabi global, ya nabi Muhammad itu. Itu saya sampaikan kepada mahasiswa.

Soal pelarangan aliran sesat?

Saya tidak sependapat dengan itu. Yang punya Islam itu siapa sih? Allah! Allah aja tidak seperti itu. Kita sudah melebihi wewenang Allah.

Jadi Ahmadiyah, Lia Eden, biarkan saja?

Silakan saja! Silakan Saja! Itu merupakan satu ijtihad. Itu yang saya katakan, kalau ada seribu mazhab itu bagus. Kalau ada yang tidak cocok, dia bisa pilih mazhab lain.

Bagaimana tanggapan Anda soal pelacuran?

Sah-sah saja kalau terdesak kebutuhan. Itu terpaksa kan. Konteksnya kan terpaksa. Kalau itu dosa, dosa sesama manusia.

Bukankah  ada ayat larangan berzina?

Itu kan konteks sosial. Saya beri ilustrasi. Karena Islam menyangkut syar’i, hubungan hablumminannas, maka shalat itu harus menutup aurat. Kenapa begitu, karena shalat itu dianjurkan berjamaah, ada imam, ada makmum, maka harus menutup aurat. Nah, dalam kacamata Tuhan, seribu lapis pakaian kita dengan tidak berpakaian itu sama saja. Sebab Tuhan itu tembus pandang. Saya katakan pada mahasiswa, kalau Anda sendirian di tengah malam gelap gulita, di dalam kamar, lampu matikan, kemudian Anda shalat tanpa busana, itu sah!

Walaupun ada perintah untuk menutup aurat dalam shalat?

Lho, perintah itu kaitannya dengan hablumminannas. Karena ada kaitannya dengan manusia, kan tidak etis shalat berjamaah telanjang. Kalau sendirian di tengah malam gelap gulita, lampu matikan, sendirian, kemudian shalat tanpa busana, itu sah! Dalam kacamata Tuhan sah shalatnya! Pelacuran itu kan ada transaksi jual beli. Dia taruh harga dua ratus ribu, oke dua ratus ribu. Berarti ini ada transaksi jual beli. Dia pasang tarif, terus siap bayar. Ini transaksi jual beli. Ini dalam kaca mata Tuhan lho ya..

Allah kan melarang perbuatan zina?

Kita ini kan terpaku pada syar’i. Kalau dikatakan ada orang memperkosa istrinya, mungkin orang tidak sependapat, tapi itu banyak terjadi. Misalnya, saya secara syar’I menikah secara sah. Ketika saya mau berhubungan, saya paksa istri saya, maka ini pemerkosaan. Bahkan lebih tragis lagi, orang tua menikahkan anaknya dengan paksa, itu membiarkan anaknya diperkosa orang. Pemerkosaan! Ini secara syar’I halal, tapi di mata Tuhan pemerkosaan. Pelacuran di mata manusia salah, di mata Tuhan, kalau karena terpaksa, sah!

Ada kasus sepasang mahasiswa chek in di hotel, terus mereka bilang, “Ya Allah saksikan hari ini saya menikah”. Apakah ini sah?

Sah! Di mata Tuhan, di mata manusia nggak. Di mata manusia salah. Ketika di mata manusia, harus ada syarat-syarat yang dipenuhi. Harus ada saksi, harus ada naïb, harus ada akta. Itu dalam konteks manusia.

Kalau di Mata Tuhan menurut Anda tidak berdosa?

(terdiam lama,red). Itu yang saya tidak tahu. Saya tidak bisa mengintip catatan Tuhan. Hahaha.. Kalau toh itu berdosa, (hanya) di mata manusia.

IAIN
Acara ospek di kampus UIN Surabaya yang dipersoalkan umat Islam

Di mata Tuhan?

Sah! Antaradhin (saling ridha, red). Sebenarnya perkawinan itu kan hanya ucapan formalitas. Ankahtuka wajawaztuka… saya terima nikahnya, mas kawinya dan seterusnya. lho sepotong kalimat ini kan yang menghalalkan yang haram. Formalitas saja ini sebetulnya. Tapi ini tidak bisa dipahami banyak orang. Yang bisa memahami mungkin hanya kalangan tertentu. Kalau saya menyebut mungkin kalangan syaikh, para wali. Karena itu ini tidak boleh diekspose. Itu hanya pemahaman-pemahaman pribadi. Saya secara pribadi mengatakan sah! Jadi termasuk pengertian hamil sebelum nikah, lho dia sudah sama-sama senang (tidak apa-apa), yang kurang kan Cuma formalitas ankahtuka itu aja kan..

Kalau ada mahasiswa IAIN seperti itu, menurut Anda?

Dalam konteks kemasyarakatan bermasalah. Free sex dalam konteks kemasyarakat bermasalah. Dalam konteks langit, no problem. Itu bagi Tuhan ya.

Soal Shalat?

Shalat itu budaya. Sebab apa, yang menciptakan bagaimana rukuk, bagaimana I’tidal itu Nabi Muhammad. Karena itu Nabi mengatakan Shallu kama raaitumuuni ushalli. Itu artinya apa, shalat itu produk Muhammad, Cuma diberi petunjuk, dibimbing, ngono lho Mad, sampeyan moco (baca, red) al-fatihah dan sebagainya

Jadi shalat itu budaya?

Budaya! Shalat lima waktu bisa tidak terjadi pada seseorang. Contoh dikatakan shalat maghrib karena matahari tenggelam, dikatakan shalat zuhur karena matahari tergelincir, dikatakan shalat subuh, karena matahari terbit. Saya pernah membaca, mendengar, di Rusia ada sebuah daerah selama tiga bulan matahari berputar sehingga selama tiga bulan tidak pernah malam. Nah, kalau tidak ada malam, berarti tidak ada shalat isya’, tidak ada shalat maghrib, tidak ada shalat shubuh. Jadi kalo matahari muter, kapan matahari tenggelam? Karena itu tidak ada kewajiban shalat maghrib, tidak ada kewajiban shalat subuh, isya’, tapi tetap wajib shalat, nggak tahu shalat apa. Tapi bukan maghrib, bukan subuh, bukan isya’. Karena itu bagi masyarakat sana tidak berlaku shalat wajib lima waktu. Tapi mungkin wajib lima kali shalat. Ketika matahari disana shalat, ketika matahari disebelah sana shalat lagi. Hitungannya bukan shalat maghrib. Jadi shalat itu dilihat sikonnya. Perempuan yang sedang M (haidh, red), shalat itu haram.

Kalau tidak mau shalat karena malas?

Ya, itu kan hak asasi. Saya setuju dengan pendapat seseorang yang mengatakan, kalau saya punya anak, saya tidak mewajibkan dia shalat. Saya tidak mewajibkan dia shalat, sebab yang mewajibkan itu Tuhan. Jadi kalau saya mewajibkan dia shalat, berarti sudah mengangkat diri saya sebagai Tuhan. Itu yang disebut syirik khofi. Jadi shalat itu ada kadang-kadang wajib, sunnah, makruh, dan mubah. Hahahaha… Perempuan M shalat itu haram. Saya memahami konteks shalat jama’, jadi kalau seperti sekarang saya ini shalat zuhur dan ashar jama’ itu sebenarnya saya shalat zuhur memang waktunya zuhur di sini. Ketika saya jama’ ashar, berarti saya mengambil waktu Australia. Sebab sekarang ini di Austraila itu ashar. Karena apa, saya jama’ takdim. Ketika saya jama’ takhir, shalat ashar saya disini, tapi shalat zuhur saya waktu Aceh. Karena itu ketika ada teman saya ingin shalat zuhur jam sepuluh, sampeyan ngomong saja sama Tuhan, saya shalat zuhur waktu Irian.

Itu No Problem?

No Problem! (tertawa,red) yang bicara soal waktu itu kan manusia. Tuhan itu pagi siang sore sama saja. Karena itu silakan Anda shalat zuhur jam sepuluh, tapi ngomong, waktu Irian! (Artawijaya)

Sikap Mohammad Natsir Terhadap Kristenisasi

“Kalaulah ada harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu, ialah agama dan keimanan kami!”

Jakarta, 1 Syawal 1837 Hijriyah. Almanak Masehi bertepatan dengan 1 Januari 1968. Pagi masih basah, ketika kaum muslimin sejak pagi buta berkumpul untuk melaksanakan shalat dan mendengarkan khutbah Idul Fitri di area sekitar pusat perbelanjaan Proyek Senen, Jakarta Pusat. Maklum, sang khatib pada hari itu bukanlah tokoh biasa. Dia adalah Allahyarham Mohammad Natsir, pendiri sekaligus ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Massa datang berjejal, ingin mendengarkan khutbah dari tokoh yang sempat memimpin Partai Masjumi ini. Pada waktu itu, isu Kristenisasi begitu mencuat, bahkan sudah terjadi gesekan di lapangan antara kaum muslimin dengan kelompok salibis. Bahkan, setahun sebelumnya gereja di Makassar dan di Meulaboh, Aceh Barat, dibakar.

Dari atas mimbar, Mohammad Natsir yang dikenal bersahaja dan berkarakter lembut menyampaikan khutbahnya. Hari itu, ia meminta kepada kelompok Kristen untuk tidak bermain api dengan akidah kaum muslimin.

“Isyhaduu bi annaa muslimun! Saksikanlah (dan akuilah) bahwa kami ini adalah Muslimin! Yakni orang-orang yang sudah memeluk agama. Agama Islam. Orang-orang yang sudah mempunyai identitas, yakni Islam. Janganlah identitas kami saudara ganggu. Jangan kita ganggu mengganggu dalam soal agama ini…” tegasnya.

Dengan tegas pula, di hadapan ratusan massa umat Islam, mantan Perdana Menteri Republik Indonesia ini menyatakan, “Kita umat Islam tidak apriori menganggap musuh terhadap orang-orang yang bukan Islam. Tetapi tegas pula Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kami untuk bersahabat dengan orang-orang yang mengganggu agama kami…”ujarnya.

Natsir melanjutkan, “Ada baiknya kita berbicara berpahit-pahit. Yakni, yang demikian tidak akan dapat kami lihatkan saja sambil berpangku tangan. Sebab kalaulah ada suatu harta yang kami cintai lebih dari segala-galanya itu, ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami warikan kepada anak cucu dan keturunan kami. Harta ini kami diwajibkan Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk menjaga dan melindunginya, sampai dia selamat dan aman, dan jadilah agama itu karena Allah semata-mata. Kalau bisa dengan teman bersama-sama, kalau tidak seorang diri sebatang kara…” Demikian khutbah Mohammad Natsir di tengah keprihatinan umat Islam dengan maraknya berbagai upaya Kristenisasi yang terjadi di tengah-tengah kaum Muslimin.

Jauh sebelum itu, pada Majalah Pandji Islam tahun 1938, Natsir yang juga tokoh Persatuan Islam (Persis) menulis tentang upaya-upaya misi Kristenisasi yang tak henti-hentinya menyasar umat Islam. Natsir menyatakan, zending Kristen akan bekerja habis-habisan, dengan dukungan zending internasional, mengkristenkan negeri-negeri Muslim. Dalam artikel berjudul, “Suara Adzan dan Lonceng Geredja” Natsir menegaskan, jika kaum muslimin berdiam diri dan berpangku tangan dengan gerak laju kristenisasi, maka bukan hal yang mustahil, di negeri yang mayoritas Muslim ini suara adzan akan dikalahkan dengan “lonceng gereja”.

Dengan bahasa yang lirih, Natsir menuliskan keprihatinannya ke depan akan nasib kaum Muslimin kelak di Indonesia, jika misi kristenisasi semakin kuat dan menggurita. Ditambah lagi, upaya-upaya untuk menjauhkan para pemuda muslim dari agamanya dan perusakan moral begitu gencar. “Sebagian kaum di golongan yang masih muda, sedang dilepaskan dari ikatan iman mereka yang asli, sehingga kesudahannya terdampar ke kanan dan ke kiri oleh gelombang penghidupan dan tidak pernah mengenal tujuan hidup yang lebih tinggi dan luhur. Sudah bukan barang yang mustahil lagi apabila sekarang terjumpa anak-anak kita orang Islam yang telah sampai ke sekolah-sekolah menengah yang belum pernah membaca fatihah seumur hidupnya dan hanya belajar mengucapkan kalimat syahadat dengan bersusah payah di waktu akan mengakadkan nikah di muka penghulu…”terangnya.

Demikianlah ketegasan Mohammad Natsir sebagai tokoh umat Islam terhadap persoalan Kristenisasi. Ia tidak berdiam diri dan berpangku tangan, apalagi bersikap lunak dengan mengatasnamakan “kerukunan beragama dan toleransi.” Dalam buku “Islam dan Kristen di Indonesia” yang ditulisnya, terlihat bahwa sejak masih muda, Natsir sudah berjibaku menghalau upaya-upaya Kristenisasi. Dengan bahasa yang terang dan tegas, Natsir berpolemik dengan seorang pendeta. Ia juga terlibat langsung dalam mendirikan “Komite Pembela Islam”, sebuah organisasi yang didirikan untuk menghadapi Kristenisasi dan segala penghinaan terhadap Islam dan kaum Muslimin pada era sebelum kemerdekaan.

Anehnya, saat ini ada orang yang mengaku sebagai pimpinan ormas terbesar di Indonesia, tetapi bermuka manis, bahkan berada di barisan kelompok Kristen yang berperkara dengan umat Islam. Al-wala‘-nya diserahkan kepada kaum kafir, dan al-bara‘-nya justru dilakukan terhadap umat Islam. Islam menghargai hak-hak kaum kafir, jika mereka juga menghargai hak-hak kaum Muslimin. Jika kaum kafir, mencari perkara dan mengusik akidah kaum muslimin, tak ada pilihan lain selain bersikap tegas dan melawan sekuat tenaga demi mempertahankan akidah kaum muslimin. Isyhaduu bi anna muslimun…! (Artawijaya)

Sikap Mohammad Natsir Terkait Pembakaran Gereja

“Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama umat beragama yang tidak perlu dikuatirkan oleh orang-orang beragama lain. Tetapi kalau umat Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan ekses yang serius.”

Allahyarham Mohammad Natsir baru sehari tiba di Tanah Air dalam lawatannya ke Timur Tengah selama dua bulan. Setiba di Jakarta, banyak media massa yang sudah menunggu komentarnya terkait peristiwa pembakaran sebuah gereja di Makasar pada bulan Oktober 1967. Sebagai tokoh umat Islam yang pada tahun itu baru mendirikan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), tentu komentar Natsir sangat ditunggu-tunggu.

Diantara wartawan yang mewawancarai adalah J. Lasut dari surat kabar Sinar Harapan. Kepada Natsir, Lasut langsung bertanya mengenai pendapatnya terkait peristiwa pembakaran gereja di Makasar itu. Dengan spontan, Natsir mengatakan, “Kejadian itu merupakan satu ekses. Begitu pula kegiatan mengkristenkan orang-orang Islam adalah satu ekses,“ujarnya.

Mantan Perdana Menteri pertama Republik Indonesia itu menambahkan,

“Perusakan gereja-gereja itu sudah tentu melukai hati kaum Kristen. Tetapi janganlah dilihat persoalan itu dengan suatu symptomatic approach, dengan sekadar melayani gejala yang kelihatan,” jelasnya. Ia menegaskan,”Islam punya kode yang positif tentang toleransi sesama umat beragama yang tidak perlu dikuatirkan oleh orang-orang beragama lain. Tetapi kalau umat Kristen yang unggul dalam arti materiil dan intelektuil mengkristenkan orang-orang Islam, ini melahirkan ekses yang serius.”

Pada tahun 1967, selain di Makassar, pembakaran gereja dan perusakan sekolah Kristen juga terjadi di Meulaboh, Aceh Barat dan di Silipi, Jakarta Barat. Peristiwa tersebut tentu memprihatinkan kita semua. Apalagi, tak ada agama manapun yang mengajarkan kekerasan dan pembakaran rumah ibadah. Namun, jika mau adil melihat masalah, maka akar persoalan dari timbulnya peristiwa itu juga harus menjadi perhatian bersama.

Pasca tragedi itu, pada 30 November 1967, Presiden Soeharto menggagas sebuah pertemuan bertajuk “Musyawarah Antar Umat Beragama”. Pertemuan yang diadakan di Jakarta itu mengundang tokoh-tokoh dari pihak Kristen dan Islam. Musyawarah itu diharapkan bisa memberikan solusi terkait hubungan antar umat beragama yang pada masa itu sedang memanas.

Dalam pertemuan tersebut, Mohammad Natsir memaparkan pendapatnya,”Sudah tidak syak lagi, bahwa kita di Indonesia sudah memiliki keragaman hidup antar agama itu sebagai tradisi berabad-abad. Sekarang, kalau keragaman itu terganggu, apa sebabnya? Jawabnya ialah, bukan semata-mata oleh karena masing-masing golongan agama itu merasakan ada perintah Ilahy supaya melakukan dakwah agama masing-masing. Tetapi sebabnya ialah resep lama dari missie dan zending asing yang kembali menjelma di Tanah Air kita ini, yakni resep “La conquete du monde musulman” (Penaklukan Dunia Islam) yang menjelma dalam tindak tanduk missie dan zending di negeri kita ini yang menjadikan umat Islam sebagai sasarannya,”terangnya.

Dalam musyawarah yang juga dihadiri tokoh Islam lainnya seperti Harsono Tjokroaminoto, K.H Masjkur, Jenderal Sudirman, dan Prof. Dr. H.M Rasjidi, Natsir yang diberi kesempatan menanggapi pernyataan pihak Kristen menegaskan, “Umat Islam merasakan bahwa agama mereka sedang terancam. Mulanya secara instinctief, lambat laun mereka menyadari bahwa agama mereka sedang menjadi sasaran suatu kegiatan Kristenisasi yang terarah dan exspansif, lalu mereka pun merasa terpanggil oleh panggilan suci untuk membela dan mengamankan agama dan umat mereka dari bahaya pengkristenan itu. Begitu duduk persoalan. Dan apabila aksi dan reaksi ini dibiarkan berjalan terus, maka saya menyatakan kekhawatiran saya terhadap perikehidupan kita bernegara, sekarang, dan untuk masa depan,”ujar tokoh yang pernah menjadi ketua umum Partai Masjumi itu.

Demikianlah sikap Mohammad Natsir terhadap aksi pembakaran gereja pada tahun 1967 silam dan ketegasannya menyampaikan keresahan umat Islam terkait ekspansi massif yang dilakukan oleh misi Kristen. “Tidak mungkin ada asap, jika tak ada api,”begitulah ia memberikan tamtsil.

Jika saat ini kita dikejutkan dengan peristiwa pembakaran gereja di Aceh Singkil, Nanggroe Aceh Daarussalam, maka sesungguhnya peristiwa tersebut tidaklah berdiri sendiri. Ada runtutan peristiwa yang kemudian menyulut konflik tersebut, diantaranya adalah keberadaan gereja-gereja yang tidak memiliki izin. Peristiwa pada tahun 2015 ini bukan kali ini saja terjadi. Pada tahun 1979 konflik antara umat Islam dan Kristen di wilayah tersebut juga pernah terjadi. Persoalannya pun sama, yaitu keresahan umat Islam karena banyaknya gereja-gereja tak berizin di wilayah mereka.

singkil

Pada tahun 1979 itu bahkan sudah dicapai kesepakatan antara umat Islam dan Kristen, agar persoalan tersebut tidak terulang lagi, dan pelanggaran terhadap pendirian rumah ibadah tanpa izin tidak terulang lagi. Namun pada tahun 2006, konflik itu terulang kembali. Lagi-lagi persoalannya adalah keberadaan gereja yang tak berizin. Lalu pada tahun 2007, dibuatlah Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh No. 25 tahun 2007 yang mengatur keberadaan rumah ibadah. Namun, lagi-lagi konflik tersebut masih terjadi. Kali ini, menurut data pemerintah dan pemberitaan di media massa,a da 21 gereja ilegal yang dipersoalkan umat Islam di wilayah tersebut. Kita tentu tak setuju dengan aksi pembakaran rumah ibadah, namun marilah melihat peristiwa itu secara adil, dengan mengetahui akar persoalan dan duduk masalahnya. Agar jangan sampai, saudara kita yang sudah terusik akidahnya, kemudian juga tersudutkan oleh pemberitaan media massa. Wallahu a’lam. (Artawijaya)

Perjuangan KH Achmad Dachlan: Membendung Arus Gerakan Kristenisasi dan Freemasonry

Selain jawaban terhadap upaya Gerakan Kemasonan dan Kerstening Politik, berdirinya Muhammadiyah juga sebagai respon dari berbagai pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh para aktivis kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo.

Nama aslinya Muhamamd Darwis bin KH Abu Bakar bin KH Sulaiman. Namun di kemudian hari, ia dipanggil dengan sebutan KH Achmad Dachlan. Ia dilahirkan di Jogjakarta pada 1868, pada sebuah lingkungan Kauman yang agamis. Lingkungan inilah yang membentuk karakter dan kepribadiannya. Istilah Kauman itu sendiri sering diartikan sebagai singkatan dari “Kaum Beriman”, karena biasanya letak perkampungan Kauman tak jauh dari Masjid Agung.
Sang Ayah, KH Abu Bakar bin KH Sulaiman adalah seorang ketib di Masjid Agung Kesultanan Jogjakarta, yang bertugas menjadi imam masjid dan pemangku urusan-urusan agama. Darah ulama mengalir di keluarga besar ayahnya. Bahkan silsilah keluarganya sampai kepada Maulana Malik Ibrahim, tokoh yang menjadi bagian dari sembilan orang penggerak dakwah di tanah Jawa. Tak hanya dari garis ayah, sang ibu, Siti Aminah, juga memiliki garis keturunan Kiai. Ia putri dari seorang penghulu di Kesultanan Jogjakarta.
Demikianlah nasab Darwis atau Kiai Dachlan tersebut. Karena berasal dari lingkar elit Islam yang berada di lingkungan keraton, tak heran jika pada usia muda, 23 tahun, Kiai Dachlan sudah berangkat ke Makkah Al-Mukarramah untuk menunaikan ibadah haji dan mempelajari ilmu-ilmu agama. Pada masa lalu, orang yang berhaji tak sekadar menjalankan ritual kewajiban haji saja, tetapi juga membicarakan nasib umat Islam di berbagai penjuru dunia. Dari sinilah nanti nampak corak perjuangan Kiai Dachlan, yang lebih cenderung pada dunia pergerakan (harakah) untuk memajukan umat Islam dan mengeluarkannya dari lingkaran gelap takhayul, bid’ah, dan khurafat. Kepeduliannya terhadap kaum miskin dan pendidikan umat Islam juga menjadi fokus perjuangan Kiai Dachlan.

Ahmad Dahlan2
KH Achmad Dachlan (duduk tengah) bersama para anggota Muhammadiyah

Kelak, ketika pemerintah kolonial menerapkan kebijakan untuk mengawasi orang-orang yang baru pulang dari Makkah dan menyita semua kitab-kitab dan bacaan lainnya yang mereka bawa, KH Achmad Dachlan berhasil menyelundupkan kitab-kitab dan bacaan lainnya, seperti Majalah Al-Urwah Al-Wutsqa dan Al-Manar melalui pelabuhan Tuban. Pemikiran-pemikiran dalam majalah-majalah dan buku bacaan yang dibawa Kiai Dachlan dari Timur Tengah itulah yang kemudian banyak mempengaruhi pemikirannya terutama dalam bidang tajdid (pembaruan), sehingga Muhammadiyah yang dibidaninya disebut sebagai Harakah at-Tajdid (Gerakan Pembaruan)
Pada saat itu, bacaan-bacaan dari Timur Tengah dianggap oleh Belanda membawa ajaran Pan-Islamisme yang digagas oleh tokoh-tokoh seperti Muhammad Rasyid Ridha, Muhammad Abduh, dan Jamaluddin Al-Afghani, yang menyuarakan penentangannya terhadap penjajahan di negara-negara Muslim. Dalam pertemuan tahunan ibadah haji di Tanah Makkah, tokoh-tokoh Islam dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Nusantara, membincangkan upaya untuk menyelamatkan negeri-negeri Muslim dari kolonialisme negara-negara kafir.
Masa kecil Kiai Dachlan adalah zaman dimana sekolah-sekolah pendidikan yang dikelola oleh orang-orang Belanda banyak bertebaran di pulau Jawa. Namun di lingkungan Kauman yang terkenal agamis, ada anggapan bahwa siapa saja yang masuk sekolah gubernuran (sekolah yang dikelola pemerintah Belanda), maka dianggap kafir atau murtad. Karena itu, Darwis alias Kiai Dachlan kecil, diasuh dan dididik oleh ayahnya sendiri di rumah.
Setelah remaja, Kiai Dachlan kemudian pergi ke Makkah untuk berhaji dan menimba ilmu. Sekembalinya dari Makkah, pada 1909, KH Achmad Dahlan bergabung dalam organisasi Boedi Oetomo. Namun keberadaanya dalam organisasi yang berada dalam pengaruh kuat Gerakan Freemason dan Theosofi ini tak lama. Kiai Dachlan melihat Boedi Oetomo tak mempunyai kepedulian terhadap Islam. Para aktifisnya ketika itu lebih kental mengamalkan kebatinan, dibandingkan menjalankan ajaran-ajaran Islam. Sejak awal berdiri, Boedi Oetomo sudah didekati oleh Gerakan Freemason (Vrijmetselarij) yang oleh orang Jawa pada waktu itu disebut sebagai Golongan Kemasonan. Ketua pertamanya, Raden Mas Tirtokoesoemo adalah seorang Mason, begitupun ketua-ketua selanjutnya.
Selama di Boedi Oetomo, ia pernah berupaya mengadakan pengajian keislaman, namun usaha itu ditolak oleh para anggota lainnya yang kebanyakan para penganut kejawen. Kia Dahlan juga gencar melakukan dakwah kepada tokoh-tokoh lain di kalangan Kemasonan dan Kristen, seperti Dirk van Hinloopen Labberton (Tokoh Theosofi-Freemasonry) dan Van Lith (Tokoh Katolik Serikat Jesuit), juga dikalangan elit keraton Jawa seperti Ki Ageng Soerjomentaram.
Sejarawan Abdurrachman Surjomihardjo dalam buku Sejarah Kota Yogakarta Tempoe Doeloe menjelaskan keprihatinan KH Achmad Dachlan dengan tumbuh suburnya pendidikan netral bercorak barat, yang dikelola oleh Gerakan Kemasonan (Freemason). Selain itu, Kiai Dachlan juga prihatin dengan maraknya sekolah-sekolah Kristen yang mendapat subsidi pemerintah Belanda, yang dalam kerap melakukan upaya kristenisasi. Semua sekolah-sekolah ini, selain mendapat dukungan pemerintah kolonial, juga mendapat dukungan elit pemerintahan setempat yang kebanyakan sudah berada dalam pengaruh Gerakan Kemasonan (Freemason).
Dukungan pemerintah kolonial terhadap sekolah-sekolah milik Gerakan Kemasonan dan Kristen adalah upaya untuk mendirikan sekolah pribumi yang mampu bersaing dengan pesantren yang menjadi basis pendidikan umat Islam. Tujuan pendidikan netral yang didirikan oleh Gerakan Kemasonan dan menjamurnya sekolah-sekolah Kristen tak lain adalah upaya mematikan peran pesantren.
Pendidikan netral bertujuan menumbuhkan jiwa loyalitas masyarakat pribumi terhadap pemerintah kolonial atau mengubah anak-anak elit Jawa menjadi ”bangsawan holland denken” (bangsawan yang berorientasi kebelandaan). Karena itu, untuk mendapatkan kaki tangan yang setia bagi pemerintah kolonial dalam bidang pemerintahan dan jaksa, dibuatlah sekolah pamong praja, Opleiding School voor Indische Ambtenaren (OSVIA).
Karena prihatin dengan sekolah-sekolah yang membawa misi anti-Islam itu, KH Achmad Dachlan kemudian mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah pada 18 November 1912, yang secara tegas menonjolkan identitas keislamannya. Muhammadiyah mempunyai tujuan: Pertama, ”Menjebarkan pengadjaran Igama Kandjeng Nabi Muhammad Sallallahu Alaihi Wasallam kepada pendoedoek boemipoetra di dalam residentie Djokjakarta.” Kedua, ”Memadjukan hal Igama anggauta-anggautanya.”
Sebab-sebab berdirinya Muhammadiyah selain faktor internal, yaitu umat Islam tidak lagi memegang teguh tuntunan Al-Qur’an dan Sunnah Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dan merajalelanya kemusyrikan, juga disebabkan faktor eksternal, yaitu kesadaran akan bahaya yang mengancam akidah umat Islam yang disebabkan oleh upaya Kristenisasi yang marak saat itu. Faktor eksternal lainnya adalah, merebaknya kebencian di kalangan intelektual saat itu yang menganggap Islam sebagai agama kolot, tidak sesuai zaman. Dan yang terpenting dari sebab berdirinya Muhammadiyah adalah upaya untuk membentuk masyarakat dimana di dalamnya benar-benar berlaku ajaran dan hukum Islam.
Dengan berdirinya Muhammadiyah, KH Achmad Dachlan dan beberapa aktivis Islam lainnya berusaha melakukan dakwah dalam bidang pengajaran dan membendung usaha-usaha Kristenisasi yang didukung oleh pemerintah kolonial lewat kebijakan Kerstening Politiek (Politik Kristensiasi) yang dimulai pada tahun 1910 oleh kelompok konservatif di Nederland dan dilaksanakan oleh Gubernur Jenderal A.W.F Idenburg.
Diantara kebijakan Kerstening Politiek adalah dikeluarkannya ”Sirkuler Minggu” dan ”Sirkuler Pasar” yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal pada 1901. Sirkuler Minggu menegaskan bahwa tidak patut mengadakan perayaan kenegaraan pada hari Minggu. Kegiatan pemerintahan pada hari Minggu diliburkan. Sirkuler Pasar melarang diadakannya hari pasaran pada hari Minggu.
Langkah KH Achmad Dachlan dengan mendirikan Persyarikatan Muhammadiyah menurut Dr. Alwi Shihab dalam disertasinya, adalah upaya membendung arus, dari upaya kristenisasi dan perkembangan Gerakan Kemasonan (Freemasonry). Alwi menjelaskan, bahwa Freemasonry di Indonesia digerakkan oleh orang-orang Kristen yang sadar diri dan sangat peduli terhadap penyebaran Injil. Mereka melakukan upaya Kristenisasi, termasuk tentu saja mempropagandakan ajaran-ajaran Freemasonry. ”Lembaga ini (Freemason, pen) telah berhasil menggaet berbagai kalangan Indonesia terkemuka, dan dengan demikian mempengaruhi berbagai pemikiran berbagai segmen masyarakat lapisan atas… Merasakan bahwa perkembangan Freemasonry dan penyebaran Kristen saling mendukung, kaum Muslim mulai merasakan munculnya bahaya yang dihadapi Islam… Dalam upayanya menjaga dan memperkuat iman Islam di kalangan Muslim Jawa, (Ahmad) Dahlan bersama-sama kawan seperjuangannya mencari jalan keluar dari kondisi yang sangat sulit ini. Untuk menjawab tantangan ini, lahirlah gagasan mendirikan Muhammadiyah.Dari sini, berdirinya Muhammadiyah tidak bisa dipisahkan dari keberadaan dan perkembangan pesat Freemasonry,” demikian tulis Alwi Shihab.
Selain jawaban terhadap upaya Gerakan Kemasonan dan Kerstening Politik, berdirinya Muhammadiyah juga sebagai respon dari berbagai pelecehan terhadap Islam yang dilakukan oleh para aktivis kebangsaan yang tergabung dalam Boedi Oetomo. Dengan bahasa sindiran, Muhamadiyah menyatakan, ”Jika agama berada di luar Boedi Oetomo, maka sebaliknya Politik berada di luar Muhammadiyah.”
Demikian khittah perjuangan Muhammadiyah pada awal-awal berdirinya.

Referensi:
– Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Jakarta:LP3ES, 1991, Cet.Keenam
– Junus Salam, K.H.A Dahlan Amal dan Perdjoangannja,Djakarta:Depot Pengadjaran Mohammadijah,1968
Makin Lama Makin Tjinta: Muhammadijah Setengah Abad 1912-1962, Djakarta: Departemen Penerangan, 1963.
– Ahmad Mansur Suryanegara, Api Sejarah, Bandung: Salamadani.
Anggaran Dasar Muhammadiyah, Jogjakarta, 1966
– Yusuf Abdullah Puar, Perjuangan dan Pengabdian Muhammadiyah, Jakarta:Pustaka Antara, 1989.
– Drs. W. Poespoprodjo, L.PH., S.S, Jejak-Jejak Sejarah 1908-1926 Terbentuknya Suatu Pola, Bandung:Remadja Karya, 1984
-Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta: LP3ES, 1985
-Dr. Alwi Shihab, Membendung Arus: Repons Gerakan Muhammadiyah terhadap Penetrasi Misi Kristen di Indonesia, Bandung: Mizan, 1998
– Abdurrahman Surjomihardjo, Kota Yogyakarta Tempoe Doeloe: Sejarah Sosial 1880-1930, Jakarta:Komunitas Bambu,2008