Ulama Menurut Buya Hamka dan Natsir

Ulama adalah figur yang mengakar ke bawah, mengakar pada umat, bukan merambat ke atas pada kekuasaan. Ulama adalah mereka yang alim, tegas, dan sederhana, bukan mereka yang bergelimang dalam gemerlap kemewahan dunia dan toleransi pada kemungkaran. Lisannya adalah perisai bagi dakwah, bukan tameng bagi kekuasaan.

Siapakah yang pantas disebut sebagai ulama? Allahyarham Buya Hamka, mantan Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) pertama, dalam sebuah tulisannya di Majalah Mimbar Agama, tahun 1951 menulis,

“Pemimpin agama; ulama, kiai, labai, ajengan, itulah waris daripada Nabi-nabi. Nabi yang tidak meninggalkan harta benda, tetapi meninggalkan pengajaran dan tuntunan kepada umat manusia. Ulama adalah pelita di waktu sangat gelap. Ulama adalah petunjuk jalan di belukar hidup yang tak tentu arah. Ulama adalah pemberontak kepada kesewenang-wenangan, melawan kezaliman dan aniaya.

Kebesaran ulama terletak dalam jiwa, bukan dalam pakaiannya yang menterang, baik jubah dan serban, atau tasbih dan tongkat kebesaran. Sayangnya ia pada seseorang karena Allah. Dari matanya terpancar cahaya keyakinan dan iman. Mereka berani menyatakan kebenaran, menyaksikan kebenaran, memberikan nasihat, berdasarkan kepada hukum-hukum yang diturunkan Tuhan. Tidak memutar-mutar, memusing-musing arti perintah Allah, karena mengharapkan ridha dari kekuasaan manusia. Sekali-kali tidak sudi  menyembunyikan kebenaran, padahal mereka tahu.

Mereka (ulama) mulia dan bergengsi tinggi karena iman dan kepercayaannya. Kalimat Allahu Akbar, Allah Mahabesar, telah mempengaruhi jalan hidupnya. Maka lantaran itu tidaklah pernah mereka merasa rendah diri terhadap sesama makhluk. Bagaimanapun besar kekuasaan seseorang manusia dan megahnya, namun bagi ulama sudah ada keputusan yang tetap, bahwa kegagahan dan kekuasaan yang tidak terbatas kalau hanya ada pada tangan manusia, tidaklah lebih daripada Namrud dan Fir’aun.

Mereka (ulama) kuat karena tidak pernah menengadahkan tangannya kepada sesama makhluk. Maka oleh karena kuat dan teguhnya semangat ulama, kerap terjadi kepala-kepala negara itulah yang terpaksa mengambil muka kepada ulama…

Ulama yang sejati tidaklah terikat oleh kemegahan nafsu dunia yang fana dan maya ini. Apa yang akan menarik mereka pada dunia? Datang ke dunia tidak berpakaian suatu apa, dan kembali ke akhirat hanya dengan kain kafan tiga lapis. Sebab itu, maka perutnya tidaklah menguasai dadanya, dan kepalanya tidak berat, yang menyebabkan timbul kantuk karena terlalu banyak memakan pemberian orang kaya atau orang-orang berkuasa…

Mereka (ulama) menempuh beribu macam kesulitan, dan mereka tahu akan kesulitan itu. Bilamana mereka telah tertegun melangkah, karena sulit rumitnya yang akan dihadapi, tiba-tiba mereka bangun kembali, sebab terdengung pula kembali di telinga mereka, “Al-Ulama waratsatul Anbiya” Ulama adalah penyambut warisan Nabi. Lantaran itu, mereka pun berjalan terus…”

natsir-hamka-isa-anshari
Natsir, Hamka, dan Isa Anshari

Nasihat kepada ulama atau dai juga disuarakan oleh Allahyarham Mohammad Natsir, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Dalam sebuah tulisannya, Natsir mengatakan,

“Jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme) yang menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur, riya’ dan ujub (ingin dikagumi). Jika sifat ananiyah sudah masuk ke dalam niat tempat bertolak, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujung-ujungnya kembali kepada selera “aku” pribadinya.

Diantara sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu bersumber dari keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir dan batin. Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini, seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam-macam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk, menghela surut meskipun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian Tajammul (mencari muka) dengan mendekatkan diri mencari kesayangan orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubalig atau ulama akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut!”

Ulama adalah mereka yang berada dalam barisan kaum muslimin, bukan berada dalam barisan penguasa, apalagi penguasa yang zalim dan aniaya. Ulama harus mengakar ke bawah, bukan merambat ke atas, lalu menjalar perlahan-lahan dalam lingkar kekuasaan. Ulama seperti ini tak lebih dari stempel penguasa, bukan pengontrol kekuasaan.

Saat ini, kita menyaksikan banyak orang yang mengaku ulama, dai, habib dan ustadz, namun lebih senang merapat pada penguasa ketimbang umat Islam. Lisannya digunakan sebagai alat kekuasaan, bahkan menjilat dengan terang-terangan. Ketika pemerintah bermaksiat, lidahnya kelu dan kaku, tak mampu menyuarakan kebenaran.

Kita butuh figur ulama yang tegas,  alim, dan sederhana, yang tidak menjadikan penguasa sebagai tempat bersandar, apalagi tempat menggelembungkan pundi-pundi kekayaan.

Kita butuh ulama yang berani menyatakan kebenaran di hadapan penguasa, bukan ulama tajammul, yang bisanya Cuma berbasa-basi dan mencari muka dengan kekuasaan. (Artawijaya)

Melahirkan Pengikut, Bukan Penggemar

Dai yang mengedepankan popularitas hanya akan melahirkan umat yang menjadikan dakwah sebagai tontonan, bukan tuntunan. Seorang dai harus ikhlas berjuang, meski sepi dari riuh rendah sanjung dan pujian. Cahaya dakwah tak boleh kalah oleh silau gemerlap keduniaan.

 

Suatu ketika, seorang mubaligh muda datang bersilaturrahim ke rumah Syaikh Ahmad Soorkati, pendiri organisasi Al-Irsyad Al-Islamiyah. Sebagai seorang alim, Syaikh Soorkati diminta nasihatnya tentang perjuangan di jalan dakwah. Dengan bahasa yang sangat menyentuh, Syaikh Soorkati mengatakan, “Jalan yang engkau pilih ya waladi (wahai anakku) adalah jalan kefakiran dan kepapaan…tapi agung, karena itu adalah jalan yang ditempuh para anbiya (Nabi-nabi) dan mursalin (Rasul-rasul),”ujarnya lembut.

Cerita tentang Syaikh Soorkati dan mubaligh muda di atas dikisahkan oleh KH Mohammad Isa Anshari, tokoh Masjumi yang dikenal piawai dalam berdakwah. Dalam buku “Mujahid Dakwah” yang ditulisnya, dai yang terkenal sebagai singa podium dan anti Komunis ini menulis, “Akidah Islamiyah yang kita jadikan pegangang hidup, kita serukan kepada manusia, kita bela dengan segala cara, kita perjuangkan dengan segala kepenuhan hati dan kesungguhan, tidak pernah menjanjikan kesenangan dunia…” tulis Isa Anshari.

Karena itu, Isa Anshari menegaskan, sebagai seorang Muslim, sebagai seorang dai, idealisme yang harus dikedepankan bukanlah materi dan kesenangan duniawi. Seorang mujahid dakwah, katanya, adalah seorang yang menyerahkan dirinya tanpa syarat kepada tegaknya kalimatullah. Isa Anshari mengatakan, seorang dai harus sadar bahwa tampilnya ia sebagai juru dakwah bukan karena sanjung dan pujian. Seorang dai harus mawas diri bahwa segala pujian adalah hak Allah Subhanahu wa Ta’ala.

“Kekuatan seorang dai bukan pada pesona pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan hujjah yang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa menjemput jiwa dan rasa.”~ Moh. Natsir

Puja dan puji kepada seorang dai adalah “racun berbisa” yang bisa merusak gerak dakwah dan menciptakan kultus individu. Dengan bahasa yang menggugah, ulama asal Maninjau, Sumatera Barat, itu menuturkan, “Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar,” tuturnya.

dakwah

Dalam karya masterpiece-nya yang berjudul “Fiqhud Dakwah”, pendiri Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII), Allahyarham Mohammad Natsir mengatakan, kekuatan seorang dai bukan pada pesona pribadinya, tapi pada kekuatan dakwahnya, kekuatan dalam menyampaikan hujjah yang bisa diterima oleh akal sehat, dan daya panggilnya yang bisa menjemput jiwa dan rasa. Natsir menegaskan, jiwa seorang dai harus merdeka dari sifat ananiyah (egoisme pribadi) yang bisa menjerumuskan sang dai pada sikap takabbur (merasa besar/angkuh), riya’ (pamer), dan ujub (ingin menonjolkan diri).

“Dakwah bukanlah jalan yang mengantarkan kita kepada kesenangan hidup dan kemewahan dunia, tapi justru kesengsaraan badan yang akan menjadi nasib, yang akan menjadi bahagian diri sebagai tunangan dari keyakinan dan perjuangan. Tenaga badan terasa lemah, tetapi tenaga iman bertambah kuat, tegap, dan segar.”

Jika sikap takabbur sudah bersemayam dalam niat tempat bertolak, kata Natsir, maka akan muncul sikap hendak memenuhi selera orang banyak, yang ujungnya kembali pada selera “aku” pribadinya. Diantara bentuk sikap ananiyah yang bisa hinggap pada seorang dai adalah hubbul maal (cinta harta), hubbul jaah (cinta pangkat dan jabatan), ingin dilihat dan dipuji banyak orang. Semua itu, menurut Natsir, bersumber pada keinginan memperoleh balas jasa dalam arti lahir maupun batin.

Natsir mengingatkan, “Di bawah kekuasaan hawa ananiyah ini seorang mubaligh mudah sekali melakukan bermacam-macam pantangan dakwah, seperti berteras keluar, menjual tampang, berpantang rujuk (kembali pada kebenaran), menghela surut walaupun sudah nyata keliru fatwa. Kemudian tajammul, mencari muka dengan mendekatkan diri pada orang yang berkuasa. Kalau sudah begitu, seorang mubaligh akan kehilangan harga diri, yang menjadikan lidahnya kaku, jiwanya kecut,” katanya.

microphone-mic-in-public

Penerus Natsir, Ustadz Syuhada Bahri yang kini pernah menjabat sebagai Ketua Umum DDII mengatakan, dai yang bisa melahirkan pengikut adalah dai yang memiliki ilmu. “Yang ia berikan ilmu. Tapi kalau yang melahirkan penggemar, ia hanya punya kemampuan entertaint. Ilmunya hanya diputar-putar di situ saja. Kalau yang lahir penggemar, jika dainya berbuat sesuatu yang tidak disetujui penggemarnya, maka dakwahnya akan bubar. Tapi kalau dai yang melahirkan pengikut, tidak. Sebab ukurannya nilai, bukan orangnya,” terang dai yang mengalami asam garam dakwah di pedalaman terpencil ini.

Tokoh pergerakan internasional, Syaikh Fathi Yakan menyebutkan, diantara karakteristik dakwah dan dai yang harus diterapkan para kafilah dakwah adalah melakukan uzlah dalam pengertian maknawi, yaitu mengisolasi diri dari hawa nafsu duniawi dan sistem jahiliyah. Seorang dai, kata Fathi Yakan, adalah orang yang membawa prinsip-prinsip dakwah Rabbaniyah, yaitu segala konsep, hukum, akhlak, tradisi, dan ide-ide yang bersumber dari dienullah dan risalah Rasul-Nya. Prinsip-prinsip ini tak boleh dikotori oleh kepentingan duniawi.

Sunatullah dakwah adalah penuh onak dan duri, bukan sanjung dan puji. “Berharap senang dalam berjuang…bagai merindukan rembulan di tengah siang,” begitu senandung nasyid mengalun merdu.

Sunatullah dakwah juga dijalani oleh para Nabi dan Rasul. Habib Muhammad Rizieq Syihab, Ketua Umum Front Pembela Islam, mengatakan, “Jika perjuangan dakwah yang kita jalani selama ini lancar dan aman-aman saja, kita justru perlu bermuhasabah, jangan-jangan ada yang salah dalam dakwah kita.”

Berdakwah menegakkan kalimatullah adalah panggilan tugas dan perjuangan seorang Muslim. Karena itu, seorang dai harus siap berjuang di tengah sunyi senyap sanjung dan pujian. Allah Subahanahu wa Ta’ala berfirman, ”Beramallah kalian, dan Allah pasti akan melihat amalan kamu, dan Rasul-Nya dan orang-orang mukmin, dan kamu akan dikembalikan kepada-Nya, yang Maha Tahu hal yang gaib dan yang nampak, dan Dia memberi tahu kamu apa yang telah kamu perbuat.” (At-Taubah:105). /Artawijaya