Soekarno: Dari Teosofi hingga Marxisme

Dilahirkan dari seorang ayah penganut Theosofi, lalu tenggelam dan mempropagandakan Marxisme. Soekarno, bisa disebut sosok sinkretik dalam ideologi.

Soekarno lahir di Surabaya pada tanggal 6 Juni 1901. Ayahnya, Raden Soekemi Sosrodihardjo, adalah keturunan Jawa tulen yang memegang kuat ajaran Theosofi.[1] Sedangkan ibunya yang bernama Ray berasal dari keturunan bangsawan Bali. Ibunda Soekarno seorang penganut agama Hindu-Budha, sedangkan ayahnya seorang muslim abangan yang menjalankan ajaran Theosofi Jawa.[2]

  Terkait soal ini dalam sambutan pada buku “Makin Lama Makin Cinta: Muhammadiyah Setengah Abad 1912-1962”, Soekarno mengatakan “Saudara-saudara, ibu meskipun beragama Islam, namun berasal daripada agama lain, orang Bali. Bapak, meskipun beragama Islam, beliau adalah beragama –dikalau boleh dinamakan agama- Theosofi. Djadi kedua orangtua saja ini, jang saja tjintai dengan segenap djiwa saja, sebenarnja tidak dapat memberikan kepada saja tentang agama Islam. Ibu bekas agama Bali, bapak penganut agama Theosofi…” (Hlm.17)

blavatsky3
H.P Blavatsky salah seorang Pendiri Theosofi

 

Kusno, nama kecil Soekarno, menghabiskan sebagian masa kanak-kanaknya di Tulungagung, Jawa Timur. Sejak kecil Kusno sudah gemar menonton pertunjukan wayang kulit di kampungnya hingga larut malam.[3] Untuk menggambarkan kecintaan kepada pewayangan, Soekarno pernah menulis, “Ayahku menginginkan aku menjadi seorang ksatria, yang akan mengabdi pada Tanah Air. Keinginannya begitu kuat, sehingga ia mengubah namaku, yang mula-mula Kusno, menjadi Soekarno. Soekarno berasal dari Karna, ialah seorang pahlawan terbesar dalam cerita Mahabharata. Karna adalah pejuang bagi negaranya dan patriot yang saleh.”[4]

Dari Tulungagung, Soekarno pindah ke Mojokerto mengikuti ayahnya yang bertugas di sana. Di kota inilah Soekarno melanjutkan pendidikannya sebagai siswa sekolah dasar Eropa atau Europese Lagere School (ELS). Di sekolah ini kecerdasan Soekarno makin nampak. Selain sekolah di ELS, Soekarno juga mengikuti kursus bahasa Perancis.

Setamat sekolah dasar Soekarno melanjutkan pendidikannya di Hogere Burgere School (HBS) di kota Surabaya. Selama lima tahun, Soekarno menimba ilmu di sekolah yang kebanyakan muridnya berasal dari ras putih (Eropa). Di kota inilah Soekarno mulai bersentuhan dengan pergerakan dan pemikiran filsafat Marxisme. Selain itu Soekarno juga banyak belajar dari HOS Tjokroaminoto, tokoh pergerakan Syarikat Islam yang sangat berpengaruh di Jawa. Soekarno yang saat itu tinggal di rumah Tjokroaminoto dan sempat menikahi putrinya yang bernama Oentari, sering mengikuti kegiatan yang dilakukan Tjokroaminoto di pergerakan Syarikat Islam. Sejak usia 15 tahun, menurut pengakuan Soekarno, saat ini masih tinggal di rumah Tjokroaminoto, ia seringkali ikut dalam pengajian KH Ahmad Dahlan di Peneleh, Surabaya.

Soekarno mulai belajar tentang teori Marxisme[5] dari seorang guru bahasa Jerman di HBS yang bernama C. Hartogh. Hartogh adalah seorang sosialis demokrat dan anggota dari Indische Social Democratische Vereeniging (ISDV), sebuah perkumpulan politik yang didirikan pada tahun 1914 oleh Hendricus Josephus Fransiscus Marie Sneevliet, seorang tokoh  Yahudi anggota Illuminati yang berasal dari Rotterdam.[6]

Di Surabaya, Soekarno banyak menghabiskan waktunya dengan membaca buku-buku literatur Barat di perpustakaan milik perkumpulan Theosofi. “Kami mempunyai sebuah perpustakaan yang besar di kota ini (Surabaya) yang diselenggarakan oleh perkumpulan Theosofi. Bapakku seorang Theosof, karena itu aku boleh memasuki perta harta ini, di mana tidak ada batasnya buat seorang yang miskin. Aku menyelam lama sekali dalam dunia kebatinan ini. Dan di sana aku bertemu dengan orang-orang besar. Buah pikiran mereka menjadi buah pikiranku. Cita-cita mereka adalah pendirian dasarku.” kenang Soekarno.[7]

Intensitas Soekarno dalam mempelajari ide-ide para pemikir Barat di perpustakaan milik perkumpulan Theosofi inilah yang kemungkinan besar sangat memengaruhi Soekarno dalam sikap politiknya, terutama soal nasionalisme.[8] Karena itu, tak heran jika perkumpulan Theosofi banyak mempengaruhi nasionalisme Indonesia, karena banyak para anggotanya yang di kemudian hari memainkan peran dalam mengusung paham nasionalisme atau kebangsaan.

karno

Pada kurun waktu yang sama, Soekarno muda mulai bersentuhan dengan para tokoh yang banyak mengusung paham sosialis, seperti Adolf Baars, seorang aktivis ISDV yang juga penganut Marxisme, yang di kemudian hari berhasil menyusupkan orang-orang seperti Semaun dan Darsono ke dalam pergerakan Sarekatt Islam dan memecah belah pergerakan tersebut. Adolf Baars adalah sosok yang mempropagandakan untuk melepaskan diri dari nasionalisme dan mengikat diri kepada humanisme internasional yang sosialis.[9]

Persentuhan Soekarno dengan pengusung sosialis-marxis ini diakuinya sendiri dalam pidato di depan anggota sidang BPUPKI pada tanggal 1 Juni 1945,

“Saya mengaku, pada waktu saya berumur 16 tahun, duduk di bangku sekolah HBS di Surabaya, saya dipengaruhi oleh seorang sosialis yang bernama A. Baars yang memberi pelajaran kepada saya. Katanya, jangan berpaham kebangsaan, tetapi berpahamlah rasa kemanusiaan sedunia, jangan mempunyai rasa kebangsaan sedikitpun. Itu terjadi pada tahun 1917. Tetapi pada tahun 1918, alhamdulillah, sang lain yang memperingatkan saya ialah Dr. Sun Yat Sen. Di dalam tulisannya San Min Chu I atau The Three People’s Principles, saya mendapat pelajaran yang membongkar kosmopolitisme yang diajarkan Baars itu. Dalam hati saya sejak itu tertanamlah rasa kebangsaan oleh pengaruh The Three People’s Principles itu. Maka oleh karena itu, jikalau seluruh bangsa Tionghoa menganggap Dr Sun Yat Sen sebagai penganjurnya, maka yakinlah bahwa Bung Karno juga seorang Indonesia yang dengan perasaan hormat-sehormatnya merasa berterima kasih kepada Dr. Sun Yat Sen, sampai masuk ke lubang kubur.”[10]

Siapa Dr. Sun Yat Sen, sehingga Soekarno begitu mengagumi pemikirannya? Sun Yat Sen adalah tokoh revolusi Tiongkok dan pendiri partai Kuomintang berhaluan marxis, yang pada tahun 1912 mendirikan Tiongkok merdeka. Tokoh ini juga dikenal sebagai penggerak kaum kiri di Tiongkok dalam masa-masa revolusi.

Abdullah Patani, seorang sarjana lulusan Madinah University asal Patani, Thailand, dalam risalah kecil bertajuk “Freemasonry di Asia Tenggara”, yang ditulis di Madinah Al-Munawwarah pada tahun 1400 H dan diterbitkan dalam bahasa Melayu di Malaysia oleh Ali bin Haji Sulong, menyatakan bahwa ideologi yang diambil Soekarno dari Sun Yat Sen berasal dari doktrin Zionisme melalui gerakan Freemasonry Asia, dimana Sun Yat Sen termasuk anggota dan simpatisannya.[11]

Pada tahun 1926, Soekarno mengeluarkan gagasan yang cukup berani tentang penyatuan Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Bagi Soekarno, ketiganya merupakan kekuatan besar yang dapat mempersatukan bangsa Indonesia dalam masa-masa perjuangan revolusi. Ketiganya bisa bahu-membahu untuk saling bekerjasama. Dalam arti, nasionalisme harus bisa memberikan tempat bagi Islam dan Marxisme, dan sebaliknya Islam juga harus bisa memberikan tempat bagi Nasionalisme dan Marxisme. Inilah yang menurut Onghokham dalam kata pengantar buku “Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan” yang ditulis Bernhard Dahm, sebagai upaya Soekarno dalam mengenyampingkan begitu saja pertentangan antara agama dan Marxisme.[12]

Apa yang dimaksudkan oleh Soekarno dengan gagasannya tersebut, menurut Onghokham, tak begitu jelas. Apakah Soekarno dengan gagasannya itu hanya menjelaskan tentang tiga kekuatan besar yang mempunyai eksistensi masing-masing dalam pentas politik nasional saat itu? Ataukah maksud Soekarno bahwa ketiga gerakan ini sama sifatnya dan harus terjadi satu kesatuan antara ketiga ideologi ini? Kalau ini yang dimaksud Soekarno, terang Onghokham, berarti orang harus berjiwa NASAKOM (Nasionalisme, Agama dan Komunisme) atau NASAMAR (Nasionalisme, Agama dan Marxisme). Dengan begitu, orang pergerakan harus menyatukan diri ke dalam Nasionalisme, Agama, dan Marxisme atau Komunisme.[13]

Onghokham melanjutkan, Bernhard Dahm, dalam bukunya tersebut mengganggap tulisan Soekarno tentang Nasionalisme, Agama, dan Marxisme, sebagai suatu distorsi dari sejarah dan akar masing-masing paham. Dahm, menurut Onghokham, terkejut bahwa ada orang yang yang dapat melihat persamaan ataupun kerjasama antar ketiga ideologi ini. Dahm berkesimpulan bahwa hanya orang Jawa yang berakar dalam tradisi kebudayaan Jawa yang dapat mengemukakan itu. Dan hal ini kata Dahm, disebabkan pendekatan kultur Jawa terhadap segala fenomena di dunia ini adalah “satu”. Inilah yang disebut dengan sinkretisme Jawa, seperti gagasan Soekarno menyatukan Nasionalisme, Islam, dan Marxisme. Soekarno melihat ketiga kekuatan tersebut mempunyai prinsip yang sama dalam menentang kolonialisme dan imprealisme Barat. Dalam hal ini ketiganya menemukan musuh bersama.[14]

Pemikiran sinkretisme Jawa, dalam analisis Dahm, juga nampak dalam gagasan Soekarno tentang Pancasila. Kelima sila yang diajukan, kata Soekarno dalam sidang BPUPKI, bisa diperas menjadi tiga sila, dan akhirnya menjadi satu sila saja, yaitu “gotong royong”. Karena itu, dalam pandangan Dahm, Pancasila yang disebut Soekarno dalam pidatonya tersebut merupakan “ikhtisar klasik dari gagasan-gagasan politik yang dikembangkanya sampai tahun 1945”.[15]

Karno2

Dengan demikian, gagasan Soekarno tentang NASAMAR era tahun 1920-1945 sangat mempengaruhi sikap politiknya ke depan dalam menentukan dasar negara. Kemudian apakah dengan demikian, Soekarno yang merupakan anak seorang penganut Theosofi Jawa dan pernah secara intens ‘menyelam’ dalam perpustakaan yang disebutnya sebagai “harta karun” milik perkumpulan Thesofi, juga dipengaruhi oleh gerakan tersebut yang mengajarkan persamaan dalam segala hal, baik agama, golongan atau ras, dan ideologi, dalam bungkus humanisme universal? Ataukah dalam istilah yang sedang menjadi sorotan saat ini, Soekarno juga pengusung paham “pluralisme” agama dan ideologi?

“Dalam pengertian ini, Soekarno sendiri “bersikap netral dalam soal agama”. Perasaan dasarnya yang tidak terikat kepada sesuatu dogma, memungkinkannya memasuki semua kultus, termasuk Marxisme, sesuai dengan kepercayaan orang-orang Jawa bahwa, ”semua hal adalah satu.” Soekarno bukan seorang muslim, ia adalah seorang Jawa,” tulis Dahm.[16]

Dalam sebuah artikel di media massa pada 14 Juni 1941, Soekarno menggambarkan sosok pribadinya,

“Ada orang mengatakan Soekarno itu nasionalis, ada orang mengatakan Soekarno bukan lagi nasionalis, tetapi Islam, ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, tapi Marxis, dan ada lagi yang mengatakan dia bukan nasionalis, bukan Islam, bukan Marxis, tetapi seorang yang berfaham sendiri. Golongan tersebut belakangan ini berkata: Mau disebut dia nasionalis, dia tidak setuju dengan apa yang biasanya disebut nasionalisme; mau disebut dia Islam, dia mengeluarkan faham-faham yang tidak sesuai dengan fahamnya banyak orang Islam; mau disebut Marxis, dia sembahyang; mau disebut bukan Marxis, dia “gila” kepada Marxisme itu. Apakah Soekarno itu? Nasionaliskah? Islamkah? Marxiskah? Pembaca-pembaca, Soekarno adalah campuran dari semua isme-isme itu!”[17]

Tulisan di atas menggambarkan secara gamblang sosok Soekarno, yang dalam istilah Dahm, sesuai dengan kepercayaan orang Jawa yang selalu mengedepankan sinkretisme atau mencampuradukkan segala macam aliran dan menjadikan “segala sesuatu adalah satu”. Campuran isme-isme itulah, seperti juga pengakuan Soekarno dalam pidato di sidang BPUPKI, turut memengaruhi konsep dasar negara yang ia gagas. Karena itu dalam sebuah seminar peluncuran buku di Bawah Bendera Revolusi cetakan terbaru di Perpustakaan Nasional Jakarta, tanggal 14 Agustus 2006, sejarawan Anhar Gonggong menyebut Pancaslila sebagai kristalisasi dari pemikiran Soekarno yang ia lontarkan ke publik sejak tahun 1926.

Dalam sebuah pernyataanya, Soekarno pernah mengatakan, ”Konsepku tidak disandarkan kepada Tuhannya orang Islam. Ketika konsep keagamaanmu meluas, ideologi dari pak Tjokro (Tjokroaminoto, pen) dalam pandanganku semakin sempit. Pandangannya tentang kemerdekaan untuk tanah air kami semata-mata ditinjau melalui lensa mikroskop dari agama Islam. Aku tidak lagi menoleh kepadanya untuk belajar,” ujar Soekarno mengomentari sosok yang pernah menjadi idolanya dalam pergerakan.[18]

Dalam sebuah acara amanat kepada  Front Marhaenis pada tanggal 4 Juli 1963, Soekarno menceritakan soal gagasannya tentang Marhaenisme.[19] Gagasan itu, kata Soekarno, ia gulirkan pada tahun 1927, tahun yang sama dengan berdirinya Partai Nasional Indonesia (PNI). Marhaenisme, kata Soekarno adalah ajaran yang mengandung ilmu perjuangan revolusioner untuk menggalang persatuan kaum Marhaen dan dirumuskan sebagai “sosio-nasionalisme” dan “sosio-demokrasi”.[20]

Soal Marhaenisme ini, pada acara itu juga Seokarno menegaskan bahwa ia sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Marxisme. Soekarno menyebut ajaran Marx tentang historis-matrealisme sebagai konsep yang sangat ia gemari dan setujui sepenuhnya.“Ajarannya tentang Karl Marx tentang histories-matrealisme saya gemari dan saya setujui sepenuhnya, dan saya gunakan, ya saya toepassen, saya terapkan pada situasi masyarakat Indonesia. Sebagai hasil dari penggunaan, atau toepassing atau penerapan historis-matrealisme Karl Marx di masyarakat Indonesia dengan ia punya kondisi sendiri, dengan ia punya situasi sendiri, dengan ia punya sejarah sendiri, dengan ia punya kebudayaan sendiri, dan sebagainya lagi, maka saya datang kepada ajaran Marhaenisme,” ucap Bung Karno.[21]

Karena itu, kata dia, “Saya selalu menganjur-anjurkan kepada seluruh Front Marhaenis, bahwa untuk dapat memahami Marhaenisme ajaran saya itu, kita minimal, paling sedikit, harus mengetahui dua pengetahuan. Pertama, pengetahuan tentang situasi dan kondisi Indonesia. Kedua, pengetahuan tentang Marxisme,” terang Bung Karno.[22]

Untuk semakin memantapkan gagasannya tentang Marhaenisme itu, dalam sebuah acara yang dihadiri kader pelopor Marhaenisme di gedung Basket Ball, Senayan, tanggal 25 Maret 1965, Soekarno mengatakan,

”Aku amat bergembira bahwa kami menerima Marxisme. Historich matrealisme, dus Marhaenisme, seperti kukatakan kemarin, bukan sekadar satu political theory, bukan sekadar teori politik, tetapi terutama sekali sebagai suatu teori perjuangan. Saya kemarin berkata, Evangelie van dus daad, gita-gita, artinya nyanyian amal, nyanyian perbuatan, nyanyian fiil, nyanyian perjuangan,” ujar Soekarno sambil menyebut Marhaenisme sebagai guide to action, guide for action dan guide of action.[23]

Artinya, kata Soekarno, para kader Marhaen harus menjadikan ajaran Marhaenisme sebagai penuntun, petunjuk aksi, untuk sebuah perjuangan mati-matian, perjuangan tanpa kompromi. “Kalau engkau memang Marhaenis sejati, engkau pejuang, berjuangan terutama sekali, saudara-saudara dengan keyakinan penuh, bahwa engkau menuju kepada tujuan yang benar, dan bahwa engkau pasti, pasti, pasti, pasti, tidak boleh tidak pasti, jikalau engkau memakai guide of action ini, akan mencapai kemenangan, tidak boleh tidak,” ujar Soekarno, lantang.[24]

Dalam sebuah pidato pada Kongres Partindo di gedung Olah Raga, Jakarta, pada tanggal 26 Desember 1961, Soekarno menegaskan kembali kecintaanya kepada Marxisme. Mengutip seorang tokoh bernama Asmara Hadi, Soekarno mengatakan Marhaenisme adalah Marxisme yang dijalankan di Indonesia. “Saya bertanya: He’ Soekarno, apakah engkau menjalankan Marxisme? Ya, kataku,” ujar Soekarno dengan gaya oratornya.[25]

Menurut Soekarno, jika ada orang yang mengaku menjalankan Marhaenis, tetapi tidak menjalankan Marxisme di Indonesia, maka dia adalah Marhaenisme gadungan alias palsu. Selanjutnya, kata Soekarno, seorang yang mengaku sebagai Marxis adalah orang yang radikal revolusioner, orang yang juga tidak mengidap penyakit komunistophobi (anti-komunis).

Bagi Soekarno, proklamasi kemerdekaan Indonesia dipertahankan oleh seluruh rakyat zonder phobi-phobian. Zonder ada perpecahan antara kita dan kita. Karena itu Soekarno juga menyebut orang-orang yang mengeritik kehadiran dan pidatonya pada acara ulang tahun ke-45  Partai Komunis Indonesia sebagai orang yang phobi terhadap komunisme dan anti Nasakom.

Ironisnya sebagai seorang pemikir bangsa, seharusnya Soekarno tak boleh sekali-kali melupakan sejarah. Siapapun tahu dengan kasat mata, komunisme di Indonesia pernah menorehkan sejarah yang berdarah-darah pada peristiwa pemberontakan Madiun tahun 1948, membunuh, membantai, menghina ajaran agama, dan melecehkan Tuhan.

Memang, jargon-jargon ideologi Marxis soal nasib kesejahteraan rakyat, perlawanan terhadap kelompok borjuis dan pemegang modal, pernah membius sebagian umat Islam yang merasa hidup tertindas oleh sistem. Di Sumatera Barat sekalipun, daerah yang terkenal dengan tokoh-tokoh Islamnya, sempat terjadi pemberontakan yang digalang oleh PKI. Pemberontakan yang terjadi pada tahun 1927 oleh PKI Sumatera Barat di Minangkabau, seperti kata Arnold C Brackman, lebih berciri Islam ketimbang komunistis.[26] Saat itu petani-petani Minangkabau yang terkenal taat beragama, dihasut oleh PKI untuk memberontak karena beratnya beban pajak (belasting) yang menghimpit mereka. Dengan kekuatan propaganda, PKI berhasil menghasut rakyat Minangkabau.[27] Tokoh PKI yang sangat berpengaruh di Sumatera Barat saat itu adalah Haji Datuk Batuah yang tinggal di Padang Panjang.

Predikat haji yang di miliki Datuk Batuah membuat gerakan komunisme di Sumatera Barat menjadi unik, bahkan terkesan absurd. Selain Batuah, di Jawa Tengah juga muncul sosok komunis yang bertitel haji. Ia adalah haji Misbach, tokoh yang cukup berpengaruh di Solo. Bahkan Misbach mengatakan bahwa seorang muslim tidak bisa disebut muslim sejati jika ia tidak meyakini komunisme.

Muhammad Ibnu Sayuti atau lebih dikenal dengan nama Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi Indonesia yang sempat berkecimpung dalam Marxisme, atau dalam bahasa Taufik Ismail tokoh ini disebut sebagai “Marxis-nasionalis yang merah menyala”, mengatakan, “kalau anak muda baca Manifesto Komunis, belajar Marxisme-Leninisme, lantas tak tertarik, maka dia anak muda bebal. Tapi kalau sudah mendalami Marxisme-Leninisme, sampai tua masih tetap komunis, maka dia sangat bebal.”[28]

Seperti halnya Soekarno, mantan wakil presiden Mohammad Hatta pun sempat mempelajari Marxisme. Berbeda dengan Soekarno, Hatta tidak pernah menyatakan dirinya Marxis. Bahkan Hatta melontarkan kata-kata sindiran yang sangat terkenal saat itu bahwa, ”kalau ada orang komunis yang mengatakan ia percaya pada Tuhan, atau seorang Islam mengaku dirinya Marxis, maka ada yang tidak beres padanya.”[29] (Artawijaya)

*Tulisan ini diambil dari salah satu sub bab  buku Artawijaya, Dilema Mayoritas, Medina Publishing 2008

Footnote:

——

[1] Perkumpulan Theosofi didirikan  pertama kali di kota New York, Amerika Serikat, pada tahun 1875 oleh seorang wanita bangsawan keturunan Rusia, Helena Petrovna Blavatsky atau biasa di sebut Madame Blavatsky. Selanjutnya perkumpulan ini membentuk Theosophical Society (TS) di seluruh dunia. Dalam perjalanannya, TS merupakan gerakan Hindu Baru (Neo-Hindu Movement) yang diinspirasikan dari Mistisme Esotoris Yahudi bernama Kabbala dan Gnosticism, suatu ilmu rahasia keselematan, serta bentuk-bentuk okultisme Barat. Karena kecenderungannya pada Mistis Timur, maka markas TS dipindah ke  desa Adyar, provinsi Madras, India. Tokoh lain yang menjadi penggerak TS adalah Annie Besant. Perkumpulan Theosofi di Hindia (Indonesia) bisa dilacak dengan berdirinya Loji (Lodge), tempat berkumpul dan beribadat kelompok Theosofi di Pekalongan pada tahun 1883. TS di Pekalongan dipimpin oleh bangsawan Eropa, Baron Van Tengnagel. Diantara tokoh yang paling menonjol dalam perkumpulan Theosofi adalah dr. Radjiman Wedyodiningrat, pemimpin sidang BPUPKI. (Lihat Iskandar P Nugraha, Gerakan Theosofi dan Nasionalisme Indonesia, Jakarta: Penerbit Komunitas Bambu, 2001).  Sejarawan terkemuka M.C Ricklefs dalam buku A History of Modern Indonesia menyimpulkan bahwa gerakan intelektual anti-Islam mempunyai kaitan dengan perkumpulan Theosofi atau disebut dengan Theosofische Vereeniging. Perkumpulan Theosofi kemudian banyak menuai kecaman umat Islam, karena dianggap menghina ajaran Islam. (Lihat Ridwan Saidi dan Rizky Ridyasmara Fakta dan Data Yahudi di Indonesia, Jakarta: Penerbit Khalifa, 2006).

[2] Lihat Abdullah Shodiq, Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kemal, Pasuruan: PT. Garoeda Buana Indah, 1994, Cet. Kedua.

[3] Bernhard Dahm, Soekarno dan Perjuangan Kemerdekaan, Jakarta: LP3ES, 1987, hal 27-28.

[4] Seperti dikutip dari Bernhard Dahm, ibid, hal.32.

[5] Marxisme sebuah ideologi yang diambil dari nama penggagasnya, Karl Marx (1818-1883). Marx adalah pria kelahiran Jerman, keturunan Yahudi yang kemudian masuk Kristen dan menjadi Atheis. Marx menyelesaikan S-3 filsafat dalam usia yang sangat muda, 24 tahun. Marxisme, dengan teori pertentangan kelas yang menghasilkan survival of the fittest, dalam perjalanan sejarahnya sangat berdarah-darah. Marx bahkan pernah mengatakan, “agama adalah madat” dan “Tuhan adalah konsep yang menjijikan”. Ironisnya, Soekarno pernah mengatakan,”Saya adalah murid dari Historische School van Marx”

[6] Sneevliet dilahirkan di Rotterdam, 13 Mei 1883. Karir politiknya sebagai seorang Marxis dimulai saat ia bergabung dengan Sociaal Democratische Arbeid Partij atau Partai Buruh Sosial Demokrat di Nederland pada tahun 1909. Ia juga pernah menjadi pimpinan Partai Revolusioner Sosialis. Sneevleit datang ke Indonesia pada tahun 1913. Ia datang ke Surabaya dan bekerja sebagai staf redaksi warta perdagangan Soerabajasche Handelsblad milik sindikat perusahaan-perusahaan gula di Jawa Timur. Pada tahun 1914 Sneevleit mendirikan ISDV. Di kemudian hari, ISDV menjadi cikal bakal lahirnya Partai Komunis Indonesia (PKI), setelah sebelumnya memecah belah Syarikat Islam menjadi dua, yaitu Syarikat Islam Islam putih di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, Abdul Moeis, serta H. Agus Salim, dan Syarikat Islam Merah di bawah kendali Semaun, Alimin, dan Darsono. Pada tanggal 23 Mei 1920, Semaun mengambil alih ISDV, kemudian mengubahnya menjadi Partai Komunis Indonesia.  Diantara orang-orang yang terlibat dalam ISDV adalah P. Bersgma, J.A Brandstedder, H.W Dekker dan Adolf Baars. ( Bahaya Laten Komunisme di Indonesia, Jakarta: Markas Besar Angkatan Bersenjata Republik Indonesia Pusat Sejarah dan Tradisi Abri, 1991).

[7] Ensyclopedia van Nederlandsch-Indie, III, hal. 763. Seperti dikutip dari Bernhard Dahm, ibid, hal. 114.

[8] Ibid, hal.115.

[9] Ibid, hal. 40.

[10] Lahirnya Pancasila, Kumpulan Pidato BPUPKI, Yogyakarta: Penerbit Media Pressindo, 2006.

[11] Seperti dikutip dari  Drs. Muhammad Thalib dan Irfan S Awwas (ed), Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila Menguak Tabir Pemikiran Politik Founding Fathers RI, Yogyakarta: Wihdah Press,1999, hal.xxxii dan hal xxxv.

[12] Bernhard Dahm, Op cit, hal.xv.

[13] Ibid.

[14] Ibid, hal. xvi.

[15] Ibid, hal. xvii.

[16] Ibid, hal.216

[17] Seperti dikutip Bernhard Dahm, ibid, hal.243.

[18] Adhyaksa Dault, Islam dan Nasionalisme Reposisi Wacana Universal Dalam Konteks Nasional, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2005, hal 57. Seperti dikutip dari Dwi Purwoko, Akar Sejarah Konflik dan Konsensus, dalam Dwi Purwoko et al., Nasionalis Islam vs Nasionalis Sekular, Depok: PAK, 2001, hal. 11-12. Dari Pipitseputra, Beberapa Aspek dari Sejarah Indonesia: Aliran Nasionalis, Islam, Katolik sampai Akhir Zaman Perbedaan Paham, Flores: Nusa Indah, 1973. hal. 263.

[19] Tak ada keterangan yang jelas soal asal kata “Marhaen”. Ada yang menyebut Marhaen berasal dari nama seorang petani miskin yang dijumpai Soekarno sedang menggarap sawahnya sendiri, dengan alatnya sendiri. Ketika ditanya namanya oleh Soekarno, petani itu menjawab “Marhaen”. Kata inilah yang mengilhami gagasan Soekarno tentang Marhaenisme. (Lihat Dahm, hal. 176). Irfan S Awwas dan Muhammad Thalib dalam buku “Doktrin Zionisme dan Idiologi Pancasila”, menyebut Marhaenisme sebagai kependekan dari Marxisme, Hegel dan Nasionalisme. Marx dan Hegel adalah keturunan Yahudi. Hegel sendiri adalah tokoh zionis yang sangat berpengaruh.

[20] Panitia Peringatan 100 Tahun Bung Karno, Bung Karno dan Partai Politik, Jakarta: Grasindo, 2001, hal. 84.

[21] Ibid.

[22] Ibid.

[23] Ibid, hal. 96.

[24] Ibid, hal. 96-97.

[25] Ibid, hal. 174.

[26] Arnold C Brackman, Indonesian Communism: History, praeger, 1963. Seperti dikutip dari Taufik Ismail, Katastropi Mendunia Marxisma Leninisma Stalinisma Maoisma Narkoba, Jakarta: Penerbit Yayasan Titik Infinitum, 2004,hal. xxvi.

[27] Ibid.

[28] Ibid, hal. xii.

[29] Ibid, hal. xiii

Jaringan Yahudi Internasional di Nusantara

Dalam buku-buku sejarah nasional Indonesia, keberadaan jaringan Freemason di negeri ini nyaris tak pernah mendapat pembahasan. Padahal, jaringan Freemason yang masuk bersamaan dengan misi penjajahan Belanda ke Nusantara, mempunyai pengaruh yang kuat dalam munculnya elit modern Indonesia.

Freemason atau Vrijmetselaarij dalam bahasa Belanda, meski sudah ratusan tahun mengakar dan beroperasi di Nusantara, namun keberadaannya nyaris tak pernah mendapat perhatian dalam penulisan sejarah di negeri ini. Padahal, literatur sejarah yang menunjukkan keberadaan jaringan tersebut dan pengaruhnya terhadap tokoh-tokoh nasional masa lalu, cukup memadai untuk dijadikan rujukan otentik yang masih bisa dijumpai di rak-rak pustaka. Namun, dari sekian banyak buku sejarah nasional, tak ada satu pun yang membahas tentang jaringan Freemason dan pengaruhnya terhadap pergerakan nasional di tanah air.

Buku “Jaringan Yahudi Internasional di Indonesia” yang ditulis oleh Artawijaya ini berusaha menggali data dan memaparkannya sebagai sebuah fakta yang sulit dibantah. Buku yang pernah meraih Nominasi Terbaik Islamic Book Fair tahun 2011 untuk kategori non-fiksi dewasa ini berhasil menyuguhkan fakta sejarah dengan akurasi data yang diambil langsung dari sumber milik kelompok jaringan rahasia ini. Penulis berusaha membuat paparan sejarah yang detil  menjadi sebuah tulisan yang ringan dan mengalir.

Setidaknya, ada beberapa literatur yang cukup memadai untuk dijadikan rujukan untuk penulisan sejarah tentang keberadaan jaringan Freemason di wilayah jajahan yang dulu bernama Hindia Belanda ini sebagaimana ditulis dalam buku ini. Di antara buku-buku tersebut adalah, Vrijmetselaarij: Geschiedenis, Maatschapelijke Beteekenis en Doel (Freemason: Sejarah, Arti untuk Masyarakat dan Tujuannya) yang ditulis oleh Dr Dirk de Visser Smith pada tahun 1931, Geschiedenis der Vrymetselary in de Oostelijke en Zuidelijke Deelen (Sejarah Freemason di Timur dan Selatan Bumi) yang ditulis oleh J. Hagemen JCz pada tahun 1886, Geschiedenis van de Orde der Vrijmetselaren In Nederland Onderhoorige Kolonien en Londen (Sejarah Orde Freemason di Nederland di Bawah Kolonialisme) yang ditulis oleh H. Maarschalk pada tahun 1872, dan Gedenkboek van de Vrijmetselaaren In Nederlandsche Oost Indie 1767-1917 (Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917),  yang diterbitkan secara resmi pada tahun 1917 oleh tiga loge besar; Loge de Ster in het Oosten (Batavia), Loge La Constante et Fidele (Semarang), dan Loge de Vriendschap (Surabaya).

Di samping literatur yang sudah berusia ratusan tahun tersebut, pada tahun 1994, sebuah buku berjudul Vrijmetselarij en samenleving in Nederlands-Indie en Indonesie 1764-1962 (Freemason dan Masyarakat di Hindia Belanda dan Indonesia 1764-1962) ditulis oleh Dr. Th Stevens, seorang peneliti yang juga anggota Freemason. Berbeda dengan buku-buku tentang Freemason di Hindia Belanda sebelumnya, buku karangan Dr Th. Stevens ini sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada tahun 2004, diterbitkan oleh Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Buku-buku literatur yang mengungkap tentang sejarah keberadaan jaringan Freemason di Indonesia sejak masa penjajahan tersebut, sampai saat ini masih bisa dijumpai di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Bahkan, Indisch Macconiek Tijdschrift (Majalah Freemason Hindia), sebuah majalah resmi milik Freemason Hindia Belanda yang terbit di Semarang pada 1895 sampai awal tahun 1940-an,  juga masih tersimpan rapi di perpustakaan nasional. Selain karya Stevens dan H Maarschalk yang diterbitkan di negeri Belanda, buku-buku lainnya seperti tersebut di atas, diterbitkan di Semarang dan Surabaya, dua wilayah yang pada masa lalu menjadi basis gerakan Freemason di Hindia Belanda, selain Batavia.

Jika melihat kurun waktu tentang keberadaan jaringan Freemason seperti ditulis dalam buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 (150 tahun) atau sejak masuknya pertama kali jaringan Freemason di Batavia pada tahun 1762 sampai dibubarkan pemerintah Soekarno pada tahun 1961 (199 tahun), maka dalam rentang waktu ratusan tahun itu, sangat tidak mungkin jika Freemason tak memberikan pengaruh yang kuat di negeri ini. Dan cukup mengherankan pula, jika banyak sejarawan yang menulis tentang sejarah nasional negeri ini, tak memasukkan pembahasan tentang keberadaan jaringan Freemason. Padahal, seperti ditulis dalam literatur sejarah di atas, tak sedikit dari elit-elit nasional di Indonesia pada masa lalu yang berhubungan dengan Freemason. Dan tak sedikit pula, jaringan Freemason memainkan peranannya dalam pergerakan nasional di negeri ini.

Buku Kenang-kenangan Freemason di Hindia Belanda 1767-1917 misalnya, memuat secara lengkap operasional, para tokoh, dokumentasi foto, dan aktivitas loge-loge yang berada langsung di bawah pengawasan Freemason di Belanda. Buku setebal 700 halaman yang ditulis oleh Tim Komite Sejarah Freemason ini adalah bukti tak terbantahkan tentang keberadaan jaringan mereka, yang tak hanya beroperasi di Pulau Jawa, tapi di sebagian wilayah Sumatera seperti Aceh, Medan, dan Padang, serta Makassar di Sulawesi Selatan. Keberadaan mereka di wilayah-wilayah tersebut, mengikuti gerak kolonialisasi, karena banyak dari anggota Freemason ketika itu adalah pegawai kolonial.

Keterlibatan elit-elit pribumi, di antaranya para tokoh Boedi Oetomo dan elit keraton di Kadipaten Paku Alaman, Yogyakarta, terekam dalam buku kenang-kenangan ini. Radjiman Wediodiningrat, orang yang pernah menjabat sebagai pimpinan Boedi Oetomo, adalah satu-satunya tokoh pribumi yang artikelnya dimuat dalam buku kenang-kenangan yang menjadi pegangan anggota Freemason di seluruh Hindia Belanda ini. Radjiman yang masuk sebagai anggota Freemason pada tahun 1913, menulis sebuah artikel berjudul ”Een Broderketen der Volken” (Persaudaraan Rakyat). Tentu, jika bukan bagian dari orang-orang penting dalam jaringan Freemason, tulisan Radjiman tak mungkin dimasukkan dalam buku yang menjadi bukti sejarah keberadaan para Mason di Hindia Belanda ini.

Radjiman adalah salah satu the founding fathers negeri ini, tokoh yang pernah memimpin jalannya sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam catatan sejarah, persidangan yang dipimpin Radjiman ini tercatat sebagai awal dari lahirnya dasar negara Indonesia, Pancasila, setelah sebelumnya masing-masing kelompok berdebat dan mengajukan usulan soal asas negara. Selain Radjiman, tokoh-tokoh Boedi Oetomo lainnya yang tercatat sebagai anggota Freemason bisa dilihat dalam paper berjudul The Freemason in Boedi Oetomo yang ditulis oleh C.G van Wering.

Sementara elit di Kadipaten Paku Alaman, dari Paku Alam V sampai VII, yang fotonya terpampang dalam buku kenang-kenangan tersebut, adalah anggota Freemason yang cukup disegani di kalangan Mason Eropa karena pengaruh dan perannya sebagai elit kekuasaan dan anggota Freemason di Jawa. Hal ini bisa dilihat dalam tulisan memorial (Gedennkschrift) mengenang 25 tahun kekuasaan Paku Alam VII berikut ini:

”Sudah sejak tahun 1871 Sri Paku Alam V ditahbiskan sebagai seorang Vrijmetselaar, dan sejak itu, baik Sri Paku Alam VI, maupun Sri Paku Alam VII, atau pun banyak anggota dari keluarga Paku Alaman masuk ke dalam ”Orde der Vrijmetselaren”. Dengan demikian, maka dalam berbagai jabatan penting, mereka menyumbangkan tenaga dan pikirannya, tidak hanya pada ”Loge Mataram” pada khususnya, akan tetapi pada ”Orde der Vrijmetselaren pada umumnya. Tentang Sri Paku Alam VII dapat dinyatakan bahwa beliau dalam tingkah lakunya menunjukkan sebagai anggor ”Orde der Vrijmetselaren” yang terhormat.” (Soedarisman Poerwokoesomo, 1985:282-283).

Keterkaitan antara jaringan Freemason, Boedi Oetomo, dan elit keraton Paku Alaman juga diungkapkan sejarawan LIPI, Abdurrachman Soerjomihardjo, dalam kata pengantar buku Akira Nagazumi, Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Dalam pengantar tersebut dikatakan, ”Paku Alam memberikan pengaruh pada terselenggaranya kongres-kongres Boedi Oetomo, khususnya mereka yang ada hubungannya dengan gerakan Mason,” (Akira Nagazumi, 1989:xiii).

Kedekatan Boedi Oetomo pada masa-masa awal dengan gerakan Freemason bisa dilihat setahun setelah berdirinya organisasi tersebut. Adalah Dirk van Hinloopen Labberton, pada 16 Januari 1909 mengadakan pidato umum  (openbare) di Loge de Ster in het Oosten (Loji Bintang Timur) Batavia. Dalam pertemuan di loge tersebut, Labberton memberikan ceramah berjudul,”Theosofische in Verband met Boedi Oetomo” (Theosofi dalam Kaitannya dengan Boedi Oetomo).Theosofi adalah bagian dari jaringan Freemason yang bergerak dalam kebatinan. Aktivis Theosofi pada masa lalu, juga adalah aktivis Freemason. Cita-cita Theosofi sejalan dengan Freemason.

Sejak awal, seperti ditulis dalam buku kenang-kenangan di atas, gerak nasionalisme, terutama dalam elit kekuasan di Jawa berusaha dipengaruhi oleh jaringan Freemason. Propaganda untuk memperkenalkan dan merekrut jaringan Freemason di kalangan pribumi disampaikan melalui tulisan-tulisan, baik dalam bahasa Belanda maupun bahasa Jawa. Pimpinan tertinggi Freemason Hindia Belanda pada 1914-1917, G. Andre de La Porte membuat sebuah artikel berjudul ”De Javaasche Beweging in het Teeken van de Vrijmetselarij” (Kebangkitan Jawa dalam Gerak Freemason) yang dimuat dalam buku kenang-kenangan tersebut.

Sedangkan Robert van Niels dalam buku Munculnya Elit Modern Indonesia menyatakan bahwa sejak 1870, pusat-pusat perkotaan di Jawa tak hanya menjadi pusat perdagangan orang Eropa, namun juga menjadi pusat penyebaran kebudayaan dan paham barat yang dibawa oleh kalangan berpendidikan dari bangsa Eropa, terutama Belanda.Van Niels mengistilahkan, orang-orang Eropa tersebut membawa suatu dunia barat di daerah perkotaan Jawa. Jika merujuk pada tulisan Van Niels yang menyatakan bahwa sejak 1870 orang-orang Eropa sudah memainkan peranannya bagi masyarakat Jawa, maka pada tahun yang sama berdiri Loge Mataram yang menjadi tempat perkumpulnya orang-orang terdidik Eropa, yang tergabung dalam Freemason. Di loge inilah, elit-elit Jawa dan kalangan intelektual Belanda dan Eropa lainnya bertemu dan menjalin hubungan.

Periode berikutnya adalah era 1900-an dimana jaringan Freemason yang ’memakai jubah’ Theosofi mulai mendirikan loge-loge dan menyebarkan gagasan-gagasanya. Van Niels menyebut, pada era itu setidaknya ada 70.000 orang Eropa di Jawa, sebagian besar wakil dari urusan keuangan, sebagian lagi pegawai sipil Eropa. Niels menegaskan, pada masa itu, organisasi seperti ”Masoos” dan ”Order of Eastern Star” (Orde Bintang Timur), yang tak lain bagian dari jaringan Freemason mulai membidik orang-orang pribumi. Dari sinilah, setidaknya elit modern Indonesia yang sudah terpengaruh dan berhubungan dengan para humanis Eropa  muncul menjadi tokoh-tokoh nasional di masa datang. (hal. 26-27).

Dalam bahasa Jawa, Freemason atau Vrijmetselarij pada masa lalu disebut dengan istilah ”Kemasonan”, yaitu sebuah aliran spiritual yang mempelajari tentang kebatinan. Sebagian lagi menyebutnya sebagai ideologi pencerahan dan aliran pembebasan yang menerima sesama manusia dalam kedudukan dan kesempatan yang sama, tanpa membedakan bangsa, warna kulit, dan agama. Tujuannya adalah agar bisa ikut dalam perkembangan suatu bangsa secara serasi.

Kebanyakan dari para priayi Jawa yang bergabung dalam jaringan Freemason adalah mereka yang lekat dengan kebatinan, mistisisme, dan okultisme. Kesamaan dasar pandangan dan pemahaman inilah yang membuat jaringan Freemasonry dengan mudahnya menggurita di kalangan elit Jawa dan menjalar ke seluruh Nusantara yang menjadi wilayah kolonialisasi. Para elit Jawa yang tergabung dalam jaringan Freemason kebanyakan adalah mereka yang aktif dalam organisasi seperti Boedi Oetomo, Trikoro Dharmo, Jong Java, dan organisasi kebangsaan berbasis kejawen lainnya. Namun sayang, buku-buku sejarah yang ada selama ini jarang sekali mengungkap keterlibatan Freemason dalam organisasi-organisasi tersebut, meskipun fakta-fakta dalam literatur sejarah yang otentik begitu terang benderang.Bagi mereka yang minat dalam penelusuran sejarah, buku ini sangat sayang jika dilewatkan! (Abu Azzam)

BANGKIT DAN RUNTUHNYA DAULAH FATHIMIYAH

Daulah Fathimiyah yang berdiri di Ifriqiya, sebuah wilayah di Maghrib Al-Adna (Maghrib Dekat), yang saat ini terletak di kawasan Tunisia, Tripolitania (barat Libya), dan Constantinois (tenggara Algeria), merupakan daulah yang turut mewarnai lembar sejarah dunia Islam, sebagaimana Daulah Abbasiyah dan Daulah Umawiyah.

Berbeda dengan pemerintahan Daulah Abbasiyah dan Umawiyah yang dikenal sebagai penganut Ahlu Sunnah, Daulah Fathimiyah menjalankan pemerintahannya dengan berpijak pada ajaran Syiah Ismailiyah, yang dinisbatkan pada Imam Ismail bin Ja’far bin Shadiq. Paham inilah yang menjadi idoelogi dan konstitusi daulah tersebut

Peninggalan Fathimiyah, Bab Al-Futuh
BAB Al-Futuh, peninggalan Daulah Fathimiyah

Pendiri daulah ini, Ubaidillah Al-Mahdi dikenal sebagai penganut Syiah. Ia mendirikan daulah ini di Ifriqiya kemudian membuat sebuah kota yang bernama Al-Mahdiyah. Ambisi politik Ubaidillah inilah yang kemudian menjadi torehan kisah yang panjang bagi perjalanan sejarah daulah ini.

Penamaan daulah Fathimiyah diklaim berdasarkan nisbat secara geneologi pada keturunan Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, yakni Fathimah Radhiyallahu Anha. Meskipun ada yang mengatakan bahwa penyebutan yang lebih tepat adalah Daulah Ubaidiyah, sebagaimana nama pendirinya Ubaidillah Al-Mahdi. Rentang kekuasaan daulah ini berada pada dua fase, yaitu pada masa kekuasaan di Ifriqiya (297-362 H/910-973 M) dan Mesir serta Timur Islam (326-567 H/ 973- 1171 M)

Selain menyajikan fakta dan data tentang sejarah Daulah Fathimiyah, buku ini juga konflik dan perseteruan yang terjadi pada masa daulah tersebut. Termasuk dengan kekuatan Byzantium yang pada masa lalu juga diperhitungkan oleh dunia. Sebagai sajian yang lengkap, buku ini ditutup dengan munculnya Shalahuddin Al-Ayyubi, yang tak hanya berhasil menaklukkan kekuasaan Kristen, tetapi juga mampu mengambil alih kekuasaan Daulah Fathimiyah pada akhir keruntuhannya. Sehingga peralihan kekuasaan dari Daulah Fathimiyah (Syiah) ke Dinasti Ayyubiyah (Sunni) menjadi mata rantai sejarah yang sarat dengan pelajaran dan hikmah.

Al-Azhar peninggalan Fathimiyah
Kampus Al-Azhar Kairo, peninggalan Daulah Fathimiyah yang sekarang bercorak Sunni.

Buku ini adalah upaya yang dilakukan oleh Dr Muhammad Suhail Thaqqusy dalam mengungkap sejarah, fakta dan data, tentang Daulah Ubaidiyah Syiah Ismailiyah, yang menggunakan nama Daulah Fathimiyah atau Dinasti Fathimi. Upaya ini tentu bukanlah hal yang mudah. Karena, sebagaimana diceritakan oleh penulisnya, referensi-referensi yang terkait pembahasan soal daulah ini sangatlah minim.

Namun demikian, usaha yang sungguh-sungguh dari penulis buku ini akhirnya membuahkan hasil dengan hadirnya buku ini ke hadapan pembaca sekalian. Sebagai seorang sejarawan Islam, penulis berusaha mengambil sumber-sumber rujukan yang otoritatif (mu’tabar) sebagai bahan penelitian dan penulisan buku ini. Sumber-sumber tersebut tak hanya dari berbagai literature berbahasa Arab, namun juga dari sumber-sumber berbahasa lain. (Artawijaya)

(Minat dengan buku ini silakan SMS/WA:0818-08508064)

Buya Hamka: Pejuang Akidah Hingga Akhir Hayat

Siapakah ulama itu? Ulama adalah figur yang tidak bergantung ke atas tetapi berurat ke bawah. Ia adalah orang yang bersedia hidup di tengah-tengah umat. Ia tidak pernah mengeluh, tetapi tidak pernah menutup telinganya mendengar keluhan umat. Adakah kriteria tersebut pada Buya Hamka?

Suatu hari di rumahnya yang asri di bilangan Raden Fatah, Jakarta Selatan, Buya Hamka kedatangan sepasang muda-mudi. Seperti kebanyakan tamu Hamka lainnya yang datang meminta nasihat dan mengeluh soal kehidupan sehari-hari, sepasang anak muda ini pun mendatangi Hamka untuk hal yang sama. Tapi tak hanya meminta nasihat, sang gadis yang diketahui sebagai anak dari sastrawan Pramoedya Ananta Toer, meminta Hamka untuk mengislamkan kekasihnya. Rencananya, sepasang kekasih ini akan menikah dengan syarat sang pria memeluk agama Islam.

Meski tahu yang datang adalah anak Pramodeya Ananta Toer, mantan pimpinan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi underbouw PKI yang menuduh Hamka dengan karya “Tenggelamnya Kapal Van der Wijck” sebagai plagiat, namun Hamka tetap memperlakukan sepasang muda-mudi itu seperti tamu lainnya. Sambil menanyakan kabar Pram, Hamka menyambut keduanya dengan hangat.

Hamka kemudian mengajarkan dasar-dasar Islam kepada sang pemuda. Setelah selesai dan sepasang muda-mudi itu pamit, Hamka menitipkan salam untuk sang ayah, Pramoedya. Sang gadis, anak Pram itu, kemudian menangis. Ia tidak menyangka akan menerima pelayanan yang hangat dari seorang tua yang pernah dicaci maki oleh ayahnya. Wajah Hamka pun terlihat terharu, air mata jatuh merintik.

Rusydi, putra Hamka yang dari awal menyaksikan pertemuan itu kemudian berujar, “lupakah ayah siapa Pramoedya itu?”

“Tidak,” jawabnya, “Betapapun dia mencaci kita, kita tak berhak menghukumnya. Allah lah yang Maha Adil. Dan dia pun telah menjalani hukumannya dari penguasa di negeri kita ini,” ujar Hamka lirih.

Sejak tinggal di Jakarta, Buya Hamka seperti menjadi oase di tengah Metropolitan. Beragam orang, dengan beragam persoalan, datang ke rumah ulama itu. Ada yang datang untuk sekadar berkeluh kesah menumpahkan persoalan, meminta taushiyah karena masalah rumah tangga, bahkan meminta derma karena kesulitan ekonomi yang melilit. Semuanya diterima Hamka dengan ikhlas dan lapang dada.

Mereka yang datang, dianggapnya sebagai anak. Tak jarang, karena persoalan yang begitu pelik dari orang yang mengadu kepadanya, Hamka bersedia memberi “suaka” kepada orang itu untuk tinggal di rumahnya. Kasus ini pernah menimpa seorang perempuan yang mengadu kepada Hamka soal suaminya yang murtad, kembali ke agama sebelumnya, Kristen. Tak hanya itu, sang suami juga berusaha merebut anaknya untuk dikristenkan. Saat suami dari perempuan itu datang menyatroni rumah Hamka dan berusaha merebut anaknya, Hamka dengan tegas mengusirnya.

Sebagai ulama, Hamka benar-benar berurat ke bawah, bersedia hidup di tengah-tengah jamaah, dan menjadi sosok panutan tempat umat memulangkan segala persoalan. Rusydi mengibaratkan Hamka tak ubahnya seperti “dokter praktik”, di mana pasien selalu datang mengantri. Sosok ulama yang kini langka di tengah umat.

* * *

Masa peralihan dari Orde Lama ke Orde Baru dimanfaatkan para misionaris Kristen untuk menyebarkan agamanya. Hal ini tak luput dari perhatian Buya Hamka.Di berbagai kesempatan khutbahnya, ulama asal Maninjau ini tegas menentang keras Kristenisasi.”Modernisasi bukan berarti westernisasi dan bukan pula Kristenisasi,”tegasnya. Di Masjid Agung Al Azhar, bila tiba gilirannya berkhutbah, dengan suara lantang dan penuh semangat, Hamka mengingatkan kepada jamaah akan bahayanya zending Kristen.

“Kristen lebih berbahaya dari Komunis,” ujarnya sambil menerangkan masa kekejaman inkuisisi saat Kristen merebut kekuasaan Islam di Andalusia.

Ketegasan Hamka soal bahaya Kristenisasi tak hanya disampaikan di depan para jamaah umat Islam, tapi juga dihadapan penguasa. Pada hari raya Idul Fitri 1969, Hamka diminta untuk mengisi khutbah Idul Fitri di Masjid Baiturrahim, Kompleks Istana Negara. Di hadapan Presiden Soeharto dan pejabat negara lainnya, Hamka yang memang prihatin dengan aksi misionaris Kristen yang mulai merasahkan umat Islam, menerangkan tema soal toleransi dan Kristenisasi.

“Tapi kalau ada usaha orang supaya kita berlapang dada, jangan fanatik, lalu tukarlah kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tuhan yang maha tiga, atau berlapang dadalah dengan mengatakan bahwa Nabi kita adalah nabi palsu dan perampok di padang pasir atau kepercayaan kita kepada empat kitab suci, Taurat, Zabur, Injil, dan al Qur’an, lalu disuruh berlapang dada dengan mendustakan al Qur’an, maaf, seribu kali maaf dalam hal ini kita tidak ada toleransi!” demikian khutbah Buya Hamka dihadapan para pejabat Orde Baru.

***

26 Juli 1975. Buya Hamka dilantik menjadi Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI). Sebagai organisasi bentukan penguasa, Hamka tahu betul, posisinya akan terus disorot oleh umat. Karena itu, saat pertama kali diminta untuk menduduki posisi itu, Hamka dengan tegas menolak pemberian gaji dan dana pensiun. Hamka mengibaratkan posisinya seperti kue bika, yang dibakar di antara dua bara api yang panas, di atas pemerintah dan di bawah umat.

Penguasa saat itu berharap ia akan menjadi jembatan antara umat dan penguasa. Sementara umat masih berharap, meski dirinya makin dekat dengan penguasa, namun ketegasannya sebagai ulama tetap dipertahankan. Terutama soal kristenisasi, isu yang sangat kuat pada masa-masa Orde Baru. Sebagai “kue bika”, Hamka dengan tegas mengatakan,”Berat ke atas niscaya putus dari bawah. Kalau putus dari bawah niscaya berhenti jadi ulama yang didukung umat.”

Selama menjabat sebagai Ketua MUI, berkali-kali Hamka merasa resah oleh kedua bara panas yang menjepitnya. Jika resah itu datang, ulama yang berjalan dengan topangan tongkat kayu itu menumpahkan perasaannya pada Sang Pencipta.Di bacanya al-Qur’an hingga berhari-hari sampai wajahnya kembali terlihat cerah. Ia begitu menyangi umat, tapi ingin juga membantu pemerintah, tanpa menjilatnya.

***

Bara dari atas kian hari kian panas. Dalam posisi yang semakin hangus, Hamka akhirnya merapat ke bawah. Ketegasannya dalam hal akidah berujung pada pengundurannya sebagai ketua MUI. Peristiwa ini bermula saat Hamka dengan tegas menyatakan Haram bagi semua umat Islam untuk ikut dalam acara Natal Bersama. Pernyataan itu ia sampaikan dalam setiap khutbah dan fatwa yang dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia.

Pada khutbah Jumat di Masjid Al Azhar, dengan lantang Hamka mengingatkan bahwa haram hukumnya, bahkan kafir, jika umat Islam mengikuti perayaan Natal Bersama. Perayaan Natal, kata Hamka, adalah akidah orang Kristen. Jika ada orang Islam turut menghadirinya, maka musyriklah ia, tegas Hamka. “Katakan kepada kawan-kawan yang tidak hadir di sini, itulah akidah kita!”

Buya Hamka- Soeharto
Buya Hamka dan Soeharto

Karena kuatnya tekanan dari atas untuk mencabut fatwa itu, Hamka akhirnya memilih meletakkan jabatannya. Ia, yang sejak keluarnya fatwa haram merayakan Natal Bersama kerap terlihat merenung, memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai ketua MUI pada 18 Mei 1981. Meski begitu, dalam pernyataan pribadinya, Hamka menyatakan bertanggungjawab terhadap fatwa tersebut. Ia juga mengatakan, melarang peredaran fatwa itu adalah hak pemerintah, karena mereka berkuasa. Tapi kekuatan fatwa itu tak akan luntur, berlaku sepanjang masa.

Setelah mundur dari jabatan sebagai Ketua MUI, beragam ucapan selamat meluncur ke rumahnya. Kepada sahabatnya, M Yunan Nasution, Hamka yang saat itu mulai ringkih, berujar ringan, “Waktu saya diangkat dulu tak ada ucapan selamat, tapi setelah saya berhenti, saya menerima ratusan telegram dan surat-surat mengucapkan selamat.”

Hari Jumat, 24 Juli 1981, dua bulan setelah mengundurkan diri dari ketua MUI, Buya Hamka berpulang ke rahmatullah. Ia wafat dalam usia 73 tahun 5 bulan. Disaksikan sahabatnya, Mohammad Natsir, sosok ulama pejuang itu menghebuskan nafas terakhirnya. Karena kegigihannya dalam menjaga akidah, Buya Hamka begitu mendapat tempat di hati umat. Ia wafat dalam keadaan memegang teguh dan menjaga akidah umat. Meski benteng kekuasaan menghalanginya. (Artawijaya)

(Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Sabili edisi khusus Seabad Buya Hamka, thn 2008)

BANGKIT DAN RUNTUHNYA BANGSA MONGOL

Bangsa Mongol pada masa lalu adalah sebuah komunitas yang memiliki kekuatan super power. Dengan kehidupannya yang keras, berpindah-pindah (nomaden) dan suka berperang, mereka berusaha untuk dapat menaklukkan dunia.Karenanya, sepanjang sejarahnya, mereka terus melakukan invasi ke berbagai negeri, termasuk ke negeri-negeri Islam.

Kita mengenal kekejaman bangsa Mongol ketika melakukan invasi ke Baghdad, sebuah kota yang pada masa lalu menjadi mercusuar peradaban umat Islam dan pusat kekhilafahan Abbasiyah. Kota dengan kemegahan bangunan dan pusat ilmu pengetahuan itu berhasil diluluhlantakkan oleh mereka. Bangunan-bangunan yang menjadi ciri arsitektur Islam dibumihanguskan. Jutaan kaum muslimin dibantai secara kejam. Tentu yang tak kalah memprihatinkan, sejarah mencatat, jutaan buku dari berbagai disiplin ilmu yang susah payah ditulis dan dikumpulkan oleh kaum muslimin, kemudian disimpan di perpustakaan-perpusatkaan di kota Baghdad, dibakar dan ditenggelamkan oleh pasukan Mongol.Para sejawaran menceritakan, tinta-tinta dari buku yang ditenggelamkan itu mampu menghitamkan sungai di kota Baghdad.

Selain Baghdad, kota-kota dan negeri kaum muslimin lainnya di berbagai belahan dunia juga tak luput dari keganasan pasukan bangsa Mongol. Negeri Transoxiana (Maa waraa an-nahar), negeri Khawarizmia, kota Bukhara, Samarkand, Kabul, dan lain sebagainya berhasil mereka taklukan. Sebagaimana biasa, penaklukan yang mereka lakukan selalu diiringi dengan pembantaian dan pembumihanguskan peninggalan-peninggalan Islam.

mongol
Ilustrasi pasukan bangsa Mongol

Mengapa bangsa Mongol dengan para petingginya yang terkenal seperti; Jenghis Khan, Khulagu Khan, Ogedei Khan, dan lain-lain mampu menaklukkan dunia Islam dan menghinakan para khalifahnya? Jawabannya adalah ada pada kelemahan pemimpin dan kaum muslimin itu sendiri. Penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati) menjangkiti para pemimpin dan umat Islam pada masa itu. Mereka hidup dalam gelimang kemewahan dunia dan kemaksiatan, sehingga melemahkannya dari semangat untuk berjihad dan melakukan amar makruf nahyi mungkar.

Faktor lainnya adalah pengkhianatan kaum Syiah rafidhah, yang melakukan konspirasi untuk menumbangkan kekuasaan Daulah Abbasiyah di Baghdad dengan cara melakukan kerjasama secara diam-diam dengan tentara kafir Mongol. Pengkhianatan kaum Syiah, ini tercatat dalam sejarah sebagai andil dari mereka dalam meruntuhkan kekuasaan Islam. Baghdad yang tadinya gemilang dengan kejayaan Islam, berubah menjadi negeri yang dikuasai oleh orang-orang kafir dan para pengikut Syiah.

Buku yang ditulis oleh Prof. DR. Ali Muhammad Ash-Shallabi ini adalah karya sejarah yang cukup lengkap tentang bangsa Mongol. Sebagai seorang yang telah banyak melahirkan karya tulis di bidang sejarah, Ash-Shallabi tak hanya menuliskan fakta yang terjadi, tapi juga memberikan analisa dari peristiwa tersebut. Sehingga sejarah yang ditulisnya sarat dengan ibrah bagi kaum muslimin.

Buku ini adalah karya sejarah yang cukup lengkap, yang juga mengupas secara mendalam mengenai faktor-faktor mengapa negeri-negeri Muslim berhasil ditaklukan.Tak hanya bicara sejarah secara faktual, tetapi juga memberikan analisa-analisa yang tajam sebagai pelajaran untuk masa depan. Sayang jika Anda lewatkan!

Minat dengan buku ini? Silakan SMS/WA: 0818-08508064

Masa-masa Sulit di Bawah Rezim Nasakom

 

partai_masjumi-1

Senin, 27 Januari 1964
Buya Hamka baru saja usai mengisi pengajian kaum ibu di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Ia baru saja tiba di rumahnya yang tak jauh dari masjid tempatnya mengajar. Hari itu puasa Ramadhan 1383 Hijriyah baru saja masuk hari kedua belas. Sekitar pukul 11.00 WIB tengah hari, empat orang dari kepolisian dengan membawa surat penahanan sementara, datang menangkap ulama asal Minangkabau, Sumatera Barat itu. Buya Hamka tentu terkejut. Apalagi, polisi mengatakan bahwa dirinya ditahan karena dugaan melanggar Penpres No.11/1963. Tuduhan itu tak main-main; melakukan subversif terhadap pemerintah!

“Jadi saya ditangkap?”tanya Hamka.

“Ya,” jawab polisi berpakaian preman itu sambil meminta izin untuk melakukan penggeledahan di dalam rumah. Setelah menggeledah isi rumah, membongkar laci-laci, dan mengobrak-abrik buku-buku yang ada di kamar tidur, para polisi itu kemudian membawa Buya Hamka. Dengan mobil Morris, Hamka yang pernah menjadi anggota Konstituante dari Partai Masjumi itu kemudian diangkut menuju kantor polisi. Perlengkapan yang ia bawa hanya tas kecil berisi pakaian sehari-hari, handuk, sarung, dan sajadah. Sang istri yang melihat kejadian itu kemudian jatuh pingsan.

hamka1

“Ya Allah sabarkan hatiku, sabarkan hatiku…”ujarnya.

Rusydi Hamka, putra dari tokoh Partai Masjumi itu mengenang masa-masa sulit saat sang ayah ditangkap oleh rezim Nasakom Soekarno. Ia menceritakan kenangan itu dalam sebuah buku berjudul, “Pribadi dan Martabat Prof. Buya Hamka”. Sebagai seorang anak, ia bisa merasakan betapa pilunya melihat sang ayah digelandang di depan ibu dan adik-adiknya. Namun ketegaran sang ayah-lah yang membuat mereka kemudian menjadi kuat menerima cobaan itu.

Setelah di tahanan, barulah Buya Hamka tahu bahwa ia ditangkap karena dituduh sebagai ketua gerombolan yang akan membunuh Soekarno, dengan pendanaan dari Tengku Abdurrahman (Perdana Menteri Malaysia). Polisi menuduh ia mengikuti rapat gelap di Tangerang pada 11 Oktober 1963, bersama para mantan aktivis Partai Masjumi antara lain Dalari Umar dan Gazali Sahlan, terkait rencana tersebut.”Saudara hendak mengadakan koup atas kekuasaan pemerintah yang shah. Saudara ikut dalam komplotan hendak membunuh Bung Karno. Rekan saudara, Dalari Umar, menyimpan 4 peti granat tuk dilemparkan kepada Bung Karno. Tidak ada guna lagi membela diri berputar belit, semua rahasia sudah di tangan polisi. Pengkhianat-pengkhianat negeri akan diganyang,”ujar interogator dari polisi, mencecar Buya.

Cap sebagai pengkhianat membuat Hamka merasa terhina. Apalagi tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepadanya semuanya dusta. Karena pada malam tanggal 11 Oktober 1963 sebagaimana yang dituduhkan polisi, ia justru sedang berada di Masjid Agung Al-Azhar, menghadiri malam ta’aruf pengurus Muhammadiyah Jakarta yang baru saja dilantik. Hadir dalam pelantikan itu, Menko H. Muljadi Djojomartono, Menteri Agama KH Saifuddin Zuhri, dan Gazali Sahlan yang mewakili gubernur Jakarta Raya. Jadi, tanggal itu, Hamka tak ada di Tangerang.

Belakangan diketahui bahwa fitnah itu memang sengaja dirancang oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) yang ketika itu dekat dengan kekuasaan dan berusaha terus untuk menghabisi para mantan tokoh Partai Masjumi, termasuk Buya Hamka. Sebelumnya, Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) dan surat kabar yang dikelola oleh para aktivis PKI seperti Bintang Timur terus memfitnah Buya Hamka sebagai plagiat. Novel “Tenggelamnya Kapal Van der Wick” yang ditulisnya dituduh menjiplak karya sastra di Perancis. Lekra membuat isu “skandal sastra terbesar” terkait novel itu. Semua tuduhan itu, tentu saja semata-mata karena kebencian mereka terhadap Hamka sebagai ulama yang berlatarbelakang aktivis Partai Masjumi. (Artawijaya)

—-
Minat dengan buku ini? Silakan sms/WA: 0818-08508064